Sabtu, 03 Mei 2014

sistem politik orde lama dan politik aliran



BAB  l

PENDAHULUAN
1.1             LATAR BELAKANG
Berawal dari massa orde lama yang di pimpin oleh soekarno, yang cenderung terkonsentrasi dalam pembangunan politik di dindonesia di banding  sektor  ekonomi, ini membuat ketidakstabilan ekonomi indonesia menjadi terganggu,akibat  terganggunya ekonomi indonesia pada waktu itu rakyat menderita, Sistem pemerintahan Orde lama  kebijakan pada pemerintah, berorientasi pada politik,semua proyek diserahkan kepada pemerintah, sentralistik,demokrasi Terpimpin, sekularisme.
Berbicara soal politik pada massa orde lama itu tentunya jauh berbeda dengan politik pada orde baru bahkan massa reformasi, Sejarah sepanjang Orde Lama sampai Orde Baru partai politik mempunyai peran dan posisi yang sangat penting sebagai kendaraan politik sekelompok elite yang berkuasa, sebagai ekspresi ide, pikiran, pandangan terhadap suatu negara.
Dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah pada tanggal 3 November 1945 yang menganjurkan dibentuknya Parpol, sejak saat itu berdirilah puluhan partai politik. Maklumat ini ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat yang meminta diberikannya kesempatan pada rakyat yang seluas-luasnya untuk mendirikan Partai Politik.
Salah satu definisi partai politik yang menggambarkan adanya kemungkinan terjadinya konflik antar partai adalah definisi yang dikemukakan oleh Sigmund Neumann dalam karangannya Modern Political Parties, yaitu sebagai berikut : “ Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda”.
Selain itu, dalam menjalankan perannya dalam kehidupan politik nasional, partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi sebagai berikut :
 1. Partai sebagai sarana komunikasi politik,
2. Partai sebagai sarana sosialisasi politik,
3.   Partai politik sebagai sarana rekruitmen politik,
 4. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik.
Ke-empat fungsi di atas akan coba dikaji sejauh mana partai-partai politik yang hidup di era Demokrasi Liberal dengan sistem multipartainya yang dapat berperan sebaik mungkin dengan menjalankan fungsi-fungsi di atas sebagai mana mestinya.
secara lengkap partai politik dilihat dari sejarah, ciri, arti, fungsi, tipologi, dan sistemnya. ada tiga teori yang menjelaskan asal usul berdirinya partai politik. Teori pertama, yaitu teori kelembagaan yang mengatakan bahwa partai politik berdiri karena adanya kebutuhan para anggota legislatif / parlemen akan dukungan dari masyarakat, tapi karena berjalannya waktu partai politik yang dibentuk oleh para anggota parlemen tersebut, tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan tidak mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang muncul dari bawah. Karena dianggap partai politik yang ada tidak bisa dijadikan sebagai alat artikulasi kepentingan masyarakat, akhirnya masyarakat bersama para tokoh karismatik mendirikan partai politik baru sebagai alternatif alat artikulasi serta agregasi kepentinganya. Ramlan Surbakti menjelaskan teori ini umumnya terjadi diwilayah yang mengalami penjajahan. Demokrasi di indonesia, karena hampir semua elemen demokrasi dapat kita temukan dalam perwujudan dalam kehidupan politik di indonesia.
Pertama, lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan .perwujudan kekuasaan parlemen ini dapat di perlihatkan daengan adanya sejumlah mosi tidak percaya kepada pihak pemerintah yang mengakibatkan kabinet harus meletakkan jabatannya.
Kedua, akuntabilaitas pemegang jabatan dan politisi pada umumnya sangat tinggi. Hal ini terjadi karena berfungsinya parlemen dan juga sejumlah media massa sebagai alat kontrol sosial. Sejumlah kasus jatuhnya kabinet dalam peroide ini merupakan contoh konkret dari tingginya akuntabilitas tersebut.
Ketiga kehidupan kepartain boleh dikatakan memperoleh pekluang sebesar-besarnya untuk berkembangan  secara maksimal. Dalam priode ini,indonesia menganut sistem banyak partai(multy party system). Ada hampir 40-an partai politik yang terbentuk dengan tingkat ekonomi yang sangat tinggi dalam proses rekrutmen, baik pengurus atau pemimpin partainya maupun para pendukungnya. Campur tangan pemerintah dalam rekrutmen internal partai boleh dikatakan tidak ada sama sekali.
Keempat, sekalipun pemilihan umum hanya satu kali yaitu pada 1995 –tetapi pada umumnya pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksankan dengan prinsip demokrasi.
Kelima, masyarakat pada umumnya dapat merasakan bahwa hak-hak dasar mereka di kurangi sama sekali,sekalipun tidak semua warga negara dapat memnafaatkannya dengan maksimal.

1.2     POKOK MASALAH
1.      Bagaiamana keadaan  politik orde lama?
2.      Mengapa pemerintahan orde lama terkosentrasi pada pembangunan politik?
3.      Bagaimana pertarungan partai politik pada massa orde lama?
1.3 Tujuan Masalah
1.    ingin mengetahui pengaruh partai politik terhadap pemerintahan orde lama dan pertarungan  peserta pemilu.
2. karena setelah kemerdekaan indonesia,pemerintah soekarno sedang masa recovery setelah         lepas dari penjajah, yang juga sangat menentang pihak asing untuk ikut campur tangan dalam bebagai aspek
3. adanya fenomena  partai politik  orde lama dan politik alirannya.

                                                     BAB II


1.2             KERANGKA PEMIKIRAN

A.    Partai politik 
 partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik - (biasanya) dengan cara konstitusionil - untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Partai politik adalah sarana politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai suprastruktur politik.
Dalam rangka memahami partai politik sebagai salah satu komponen infrastruktur politik dalam negara, berikut beberapa pengertian mengenai partai politik, yakni:
  1. Carl J. Friedrich: partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan pemerintah bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil.
  2. R.H. Soltou: partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyaknya terorganisir, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasan memilih, bertujuan menguasai pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum mereka.
3.      Sigmund Neumann: partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis Politik yang berusaha untuk menguasai kekuasan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan golongan-golongan lain yang tidak sepaham.
4.      Miriam Budiardjo: partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.

^ Budiarjo, Miriam, "Dasar-Dasar Ilmu Politik", (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hal.159.


B. Pemilu 1955
Pemilu 1955 diikuti oleh 172 kontestan partai politik.
Empat partai terbesar diantaranya adalah
1.      PNI (22,3 %) 57 kursi,
2.      Masyumi (20,9%) 57 Kursi,
3.      Nahdlatul Ulama (18,4%) 45 kursi,
4.      PKI (15,4%) 39 kursi.

1.Partai Nasional Indonesia


Logo PNI
PNI atau Partai Nasional Indonesia adalah partai politik tertua di Indonesia. Partai ini didirikan pada 4 Juli 1927 dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia dengan ketuanya pada saat itu adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo]
Partai Nasional Indonesia


Propaganda PNI pada tahun 1920-an
·         1927 - Didirikan di Bandung oleh para tokoh nasional seperti Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo. Selain itu para pelajar yang tergabung dalam Algemeene Studie Club yang diketuai oleh Ir. Soekarno turut pula bergabung dengan partai ini.
·         1928 - Berganti nama dari Perserikatan Nasional Indonesia menjadi Partai Nasional Indonesia
·         1929 - PNI dianggap membahayakan Belanda karena menyebarkan ajaran-ajaran pergerakan kemerdekaan sehingga Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perintah penangkapan pada tanggal 24 Desember 1929. Penangkapan baru dilakukan pada tanggal 29 Desember 1929 terhadap tokoh-tokoh PNI di Yogyakarta seperti Soekarno, Gatot Mangkupraja, Soepriadinata dan Maskun Sumadiredja
·         1930 - Pengadilan para tokoh yang ditangkap ini dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1930. Setelah diadili di pengadilan Belanda maka para tokoh ini dimasukkan dalam penjara Sukamiskin, Bandung]Dalam masa pengadilan ini Ir. Soekarno menulis pidato "Indonesia Menggugat" dan membacakannya di depan pengadilan sebagai gugatannya.
·         1931 - Pimpinan PNI, Ir. Soekarno diganti oleh Mr. Sartono. Mr. Sartono kemudian membubarkan PNI dan membentuk Partindo pada tanggal 25 April 1931.[  Moh. Hatta yang tidak setuju pembentukan Partindo akhirnya membentuk PNI Baru. Ir. Soekarno bergabung dengan Partindo.
·         1933 - Ir. Soekarno ditangkap dan dibuang ke Ende, Flores sampai dengan 1942.
·         1934 - Moh. Hatta dan Syahrir dibuang ke Bandaneira sampai dengan 1942.
·         1955 - PNI memenangkan Pemilihan Umum 1955.
·         1973 - PNI bergabung dengan empat partai peserta pemilu 1971 lainnya membentuk Partai Demokrasi Indonesia.
·         1998 - Dipimpin oleh Supeni, mantan Duta besar keliling Indonesia, PNI didirikan kembali.
·         1999 - PNI menjadi peserta pemilu 1999.
·         2002 - PNI berubah nama menjadi PNI Marhaenisme dan diketuai oleh Rachmawati Soekarnoputeri, anak dari Soekarno.
Tokoh-tokoh dan mantan tokoh-tokoh

Foto para pendiri PNI yang merupakan arsip dari gedung Museum Sumpah Pemuda.
Partai-Partai Penerus
1.        Adam Malik, Mengabdi republik, Gunung Agung (1982) Adam Malik dalam buku ini menjelaskan bahwa dipilihnya tanggal 4 Juli itu bukan merupakan sebuah kebetulan akan tetapi lebih berkaitan dengan hari kemerdekaan Amerika Serikat yang mana sejarah mencatat bahwa proklamasi kemerdekaan Amerika berlangsung pada tanggal 4 Juli 1776 di Philadelpia dan pidato Soekarno pada Sidang Umum PBB ke-XV tanggal 30 September 1960 dengan judul Membangun Dunia Kembali (To Build The World a New)
2.        ^ "Membangkitkan Kembali Bangsa Dengan Jiwa Besar Bung Karno", A. Umar Said Personal Website, 3 Mei 2001
3.        "Pergerakan Nasional Indonesia", S

2.    Majelis Syuro Muslimin Indonesia(masyumi)

Lambang Masyumi
Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi adalah sebuah partai politik yang berdiri pada tanggal 7 November 1945 di Yogyakarta. Partai ini didirikan melalui sebuah Kongres Umat Islam pada 7-8 November 1945, dengan tujuan sebagai partai politik yang dimiliki oleh umat Islam dan sebagai partai penyatu umat Islam dalam bidang politik.
Masyumi pada akhirnya dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960 dikarenakan tokoh-tokohnya dicurigai terlibat dalam gerakan pemberontakan dari dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Melalui Badan Koordinasi Amal Muslimin (BKAM) para pemimpin Islam tidak menyerah begitu saja, pada sidangnya tanggal 7 Mei 1967 dibentuklah panitia 7 (tujuh) yang diketuai oleh tokoh Muhammadiyah yaitu H. Faqih Usman, setelah melalui beberapa kali pertemuan dan perjuangan yang berat, akhirnya pemerintah memberikan izin untuk mendirikan sebuah parpol baru yang akan menampung aspirasi umat Islam,khususnya bwekas konstityuen Masyumi, dengan syarat mantan-mantan pemimpin Masyumi tidak boleh menduduki jabatan yang penting dalam tubuh partai Parmusi.
Parmusi disahkan berdirinya melalui Keputusan Presiden No. 70 tanggal 20 Februari 1968, kemudian diangkatlah sebagai ketua Umum Djarnawi Hadikusumo dan sekretaris umumnya Drs.Lukman Harun, keduanya adalah aktivis Muhammadiyah.
INTERVENSI DAN REKAYASA
Setelah resmi berdiri intervensi pemerintah terhadap partai Parmusi sangat kental aromanya, sewaktu diadakannya kongres partai yang pertama tanggal 4-7 November 1968 yang diadakan di Malang Jatim terpilihlah Muhammad Roem sebagai ketua, Muhammad Roem pernah menjadi Menteri Luar Negeri dan PM dari partai Masyumi, dalam perjuangan kemerdekaan sebagai Menteri Luar Negeri dan Juru Runding pemerintahan Republik Indonesia beliau terkenal dengan perjanjian Roem-Royen.
Reaksi pemerintah langsung datang, dengan tidak merestui Roem sebagai ketua Parmusi, sebagai salah seorang tokoh teras Masyumi, naiknya Roem dikhawatirkan akan membangkitkan Neo Masyumi, melalui sekretaris negara Alamsyah Ratuprawiranegara mengirimkan telegram kilat kepada kongres yang sedang berlangsung, bahwa pemerintah tidak merestui terpilihnya Muhammad Roem sebagai ketua Parmusi. Akhirnya kongres kembali menempatkan Djarnawi Hadikusumo dan Drs. Lukman Harun sebagai ketua dan sekretaris umum Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI).
Kepemimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun berlangsung tidak lama, dikarenakan pemerintah menilai duet kepemimpinan yang berasal dari Muhammadioyah ini dinilai oleh pemerintah tidak kooperatif dengan kepentingan penguasa, terjadilah pemaksaan kehendak disodorkanlah John (Jailani) Naro dan Imron Kadir, masing-masing sebagai ketua dan sekretaris PARMUSI, akibat dari pemaksaan ini Parmusi mengalami konflik yang tajam dikalangan internal partai. Akhirnya pemerintah melalui kepresnya No.77/1970 tanggal 20 November 1970, kembali campurtangan dengan menunjuk tokoh Muhammadiyah yang dinilai kooperatif dengan pemerintah yaitu HMS Mintaredja, saaat itu menjadi menteri sosial dikabinet ORBA. Setelah pemilu tahun 1971 pemerintah mewajibkan partai untuk melakukan fusi partai politik atau restrukturisasi, penggabungan, penyederhanaan partai-partai politik di Indonesia. Parmusi dan partai partai Islam lainnya, yakni NU, PERTI dan SI berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Organisasi pendiri
Masyumi pada awalnya didirikan 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Meskipun demikian, Jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada di zaman Belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern, sehingga pada minggu-minggu pertama, Jepang telah melarang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII). Selain itu Jepang juga berusaha memisahkan golongan cendekiawan Islam di perkotaan dengan para kyai di pedesaan. Para kyai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang karena dapat menggerakkan masyarakat mendukung Perang Pasifik, sebagai buruh atau tentara. Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis di dalam Putera, Jepang mendirikan Masyumi.
Masyumi pada zaman pendudukan Jepang belum menjadi partai namun merupakan federasi dari empat organisasi Islam yang diijinkan pada masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia.[1] Setelah menjadi partai, Masyumi mendirikan surat kabar harian Abadi pada 1947.
Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi massa Islam yang sangat berperan dalam pembentukan Masyumi. Tokoh NU, KH Hasyim Asy'arie, terpilih sebagai pimpinan tertinggi Masyumi saat itu. Tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk dalam kepengurusan Masyumi dan karenanya keterlibatan NU dalam masalah politik menjadi sulit dihindari. Nahdlatul Ulama kemudian keluar dari Masyumi melalui surat keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tanggal 5 April 1952 akibat adanya pergesekan politik di antara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU pada persoalan agama saja.
Hubungan antara Muhammadiyah dengan Masyumi pun mengalami pasang surut secara politis, dan sempat merenggang pada saat Pemilu 1955. Muhammadiyah pun melepaskan keanggotaan istimewanya pada Masyumi menjelang pembubaran Masyumi pada tahun 1960.
Pemilu 1955
Hasil penghitungan suara dalam Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu. Masyumi menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI, dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional tak terjadi.

Berikut hasil Pemilu 1955:
1.      Partai Nasional Indonesia (PNI) - 8,4 juta suara (22,3%)
2.      Masyumi - 7,9 juta suara (20,9%)
3.      Nahdlatul Ulama - 6,9 juta suara (18,4%)
4.      Partai Komunis Indonesia (PKI) - 6,1 juta suara (16%)
Dari pemilu 1955 ini, Masyumi mendapatkan 57 kursi di parlemen.
Tokoh
Di antara tokoh-tokoh Masyumi yang dikenal adalah:
Partai Penerus
Catatan kaki

3.Nahdlatul 'Ulama

Nahdlatul 'Ulama
Bendera Nahdlatul 'Ulama
Pembentukan
31 Januari 1926
Jenis
Organisasi
Tujuan
Keagamaan dan sosial (Islam)
Kantor pusat
Wilayah layanan
Keanggotaan
30 juta
Rais Aam Syuriah
Kosong
Ketua Umum Tanfidziyah
Situs web

Nahdlatul 'Ulama (Kebangkitan 'Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Sejarah

Masjid Jombang, tempat kelahiran organisasi Nahdlatul Ulama
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

K.H. Hasyim Asyhari, Rais Akbar (ketua) pertama NU.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Paham keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tngah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Daftar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Berikut ini adalah daftar Rais Am Syuriah (Ketua Umum Dewan Syuro) dan Ketua Umum Tanfidziyah (Pelaksana) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama:



No
Rais Aam Syuriyah
Ketua Umum Tanfidziyah
Awal
Akhir
Foto
Nama
Foto
Nama
1

2
3
4
5
6
7
8
                                1992
9
10
Basis pendukung
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya.
Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Sedangkan dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari[1] memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.
Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU mempunyai profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat jelata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi, karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
Organisasi
Tujuan
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Usaha
  1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
  2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
  3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
  4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
  5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
Struktur
  1. Pengurus Besar (tingkat Pusat).
  2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi), terdapat 33 Wilayah.
  3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri, terdapat 439 Cabang dan 15 Cabang Istimewa.
  4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan), terdapat 5.450 Majelis Wakil Cabang.
  5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan), terdapat 47.125 Ranting.
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
  1. Mustasyar (Penasihat)
  2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
  3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
  1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
  2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)
Lembaga
Merupakan pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan suatu bidang tertentu. Lembaga ini meliputi:
  1. Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) [1]
  2. Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU)
  3. Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama ( LPKNU )
  4. Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU)
  5. Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU)
  6. Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI)* (Indonesia) Lembaga Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama- Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulama
  7. Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU)
  8. Lembaga Takmir Masjid (LTM)
  9. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU
  10. Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI)
  11. Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH)
  12. Lajnah Bahtsul Masail (LBM-NU)
Lajnah
Merupakan pelaksana program Nahdlatul Ulama (NU) yang memerlukan penanganan khusus. Lajnah ini meliputi:
  1. Lajnah Falakiyah (LF-NU)
  2. Lajnah Ta'lif wan Nasyr (LTN-NU)
  3. Lajnah Auqaf (LA-NU)
  4. Lajnah Zakat, Infaq, dan Shadaqah (Lazis NU)
Badan Otonom
Merupakan pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu. Badan Otonom ini meliputi:
  1. Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah
  2. Muslimat Nahdlatul Ulama
  3. Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor)
  4. Fatayat Nahdlatul Ulama
  5. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
  6. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
  7. Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
  8. Ikatan Pencak Silat Pagar Nusa (IPS Pagar Nusa)
  9. Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz (JQH)
NU dan politik
Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.
NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.
Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.
Partai penerus
Pranala luar

 

4.Partai Komunis Indonesia

Partai Komunis Indonesia
Ketua
DN Aidit
(1950-1965)
Sekretaris jenderal
Soedisman
Didirikan
Kantor pusat

Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia yang berideologi komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada 1926, mendalangi pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948, serta mendalangi peristiwa G30S/PKI dan terlibat kasus pembunuhan 6 jenderal TNI AD di Jakarta pada tanggal 30 September 1965.

 

Sejarah

Sebelum Revolusi Indonesia(Gerakan Awal PKI)

Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda
Pada Oktober 101 SM ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars.
Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia.
Pada 1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara Merdeka".
Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah "Pengawal Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun.
ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah. Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat. Setelah sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas orang Indonesia.

Pembentukan Partai Komunis

Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen diangkat sebagai ketua partai.
PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920.
Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pemberontakan 1926

Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatera Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua [2]. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.
Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.
Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Moeso kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawh tanah. Namun Moeso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI bergerak dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam kontrol PKI .

Peristiwa Madiun 1948

Pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 pihak Republik Indonesia dan pendudukan Belanda melakukan perundingan yang dikenal sebagai Perundingan Renville. Hasil kesepakatan perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya,RI menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang dimiliki.Oleh karena itu, kabinet Amir Syarifuddin diaggap merugikan bangsa, kabinet tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia terpaksa menyerahkan mandatnya kepada presiden dan digantikan kabinet Hatta.
Selanjutnya Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948. Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai oposisi terhadap pemerintahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan suatu perebutan kekuasaan.
Beberapa aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya dengan melancarkan propaganda antipemerintah, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik dan membunuh lawan-lawan politik, serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat.
Sejalan dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejak lama berada di Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan Amir Syarifuddin untuk menentang pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk pimpinan PKI. Setelah itu, ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror, mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI dan menjelek-jelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah pemberotakan terhadap RI pada 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur. Tujuan pemberontakan itu adalah meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan negara komunis. Dalam aksi ini beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan kekejaman ini membuat rakyat marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedang menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. Panglima Besar Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI. Pada 30 September 1948, Madiun dapat diduduki kembali oleh TNI dan polisi. Dalam operasi ini Muso berhasil ditembak mati sedangkan Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

Bangkit kembali

Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165 000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada 1959 ]
Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu.

Pemilu 1955

Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke empat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante.
Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada September 1957, Masjumi secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang [5].
Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional.
Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang mulai condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga menuntut agar pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil bumi yang tidak merata antara pusat dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.
Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri memberi angin pada komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas.
Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya menolaknya.
Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965
Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRC. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia.
Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian kelompok berhasil mencapai Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun demikian kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba.
Salah satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya
Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam militer partai seperti Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya. Hal inilah yang membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI dengan "tentaranya".

Gerakan 30 September

Alasan utama tercetusnya peristiwa G30S disebabkan sebagai suatu upaya pada melawan apa yang disebut "rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup d‘etat terhadap Presiden Sukarno“.

Aktivitas PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S, makin agresif. Meski pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi serangan yang sangat kasar misalnya terhadap apa yang disebut "kapitalis birokrat“[terutama yang bercokol di perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria yang tidak menepati waktunya sehingga melahirkan "Aksi Sepihak“ dan istilah "7 setan desa“[], serta serangan-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya bertitik berat kepada "kepemimpinan“-nya dan mengabaikan "demokrasi“-nya[adalah pertanda meningkatnya rasa superioritas PKI[sesuai dengan statementnya yang menganggap bahwa secara politik, PKI merasa telah berdominasi. Anggapan bahwa partai ini berdominasi,pada akhirnya tidak lebih dari satu ilusi.
Ada pun Gerakan 30 September 1965, secara politik dikendalikan oleh sebuah Dewan Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam), bermarkas di rumah sersan (U) Suyatno di komplek perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim. Sedang operasi militer dipimpin oleh kolonel A. Latief sebagai komandan SENKO (Sentral Komando) yang bermarkas di Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan operasi dikendalikan dari gedung PENAS (Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS (Monumen Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah Letkol. Untung Samsuri.
Menurut keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI mengambil alih semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang dianggap sah, hanyalah yang bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah nampak bahwa gerakan akan mengalami kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan sesuai dengan rencana, maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan ialah bagaimana mencari jalan menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dan tak bisa ditemui oleh teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai gerakan selanjutnya.
Antara kebenaran dan manipulasi sejarah. Dalam konflik penafsiran dan kontroversi narasi atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan PKI, klaim kebenaran bagaikan pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya, sehingga membingungkan masyarakat, terutama generasi baru yang masanya jauh sesudah peristiwa terjadi. Tetapi perbedaan versi kebenaran terjadi sejak awal segera setelah terjadinya peristiwa.
Di tingkat internasional, Kantor Berita RRC (Republik Rakyat Cina), Xinhua, memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI.
Presiden Soekarno pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang keblinger dan terpancing oleh insinuasi Barat, lalu melakukan tindakan-tindakan, dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama AD pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap kekejaman, melebihi peristiwa sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan melampaui batas yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.
Setelah berakhirnya masa kekuasaan formal Soeharto, muncul kesempatan untuk menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan PKI yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI. Bila sebelum ini penulisan versi penguasa sebelum reformasi banyak dikecam karena di sana sini mengandung unsur manipulasi sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan manipulatif yang sama yang bertujuan untuk memberi posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata. Pendulum sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan.
Terdapat sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan cermat dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik dan dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan kekuasaan, kasat mata, ada dokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku politik dalam rangka pertarungan kekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah soal lain yang memang perlu lebih diperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke waktu, untuk lebih mendekati kebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran tak boleh dihentikan. Bahwa dalam proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan konflik politik maupun konflik sosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu Nasakom 1959-1965, terjadi malapetaka berupa pembunuhan massal dalam perspektif pembalasan dengan anggota-anggota PKI terutama sebagai korban, pun merupakan fakta sejarah. Ekses telah dibalas dengan ekses, gejala diperangi dengan gejala.
2.        , Independent-Bangladesh.com, diakses 28 April 2008
3.        Marxists.org, diakses 28 April 2008
4.        'Communism and Stalinism in Indonesia', WorkersLiberty.org, diakses 28 April 2008
5.        'The Sukarno years: 1950 to 1965', Gimonca.com, diakses 28 April 2008



C.POLITIK INDONESIA 1990-AN:
REJUVENASI ALIRAN?
Agama harus dilihat dari dua dimensi. Pertama,agama sebagai sebuah keyakinan yang dianut oleh sekelompok orang, baik secara individual maupun  kelompok. Kedua, agama sebagai sebuah fenomena sosial. Seringkali orang tidak dapat membedakan kedua fenomena tersebut, bahkan tidak jarang membedakan mencampuradukkan satu sama lain. Agama sebagai sebuah keyakinan, akidah, kemudian diredusir sebagai sebuah gejala sosial. Kalau itu yang terjadi, maka akan timbul masalah, terutama masalah interpretasidar kalangan yang berasal dari luar lingkungan sebuah agama.
            Dalam sebuah situasi, di mana arus globalisasi sudah sedemikian kuatnya, batas negara sudah semakin kabur, dan negara bukan lagi sebagai aktor utama dalam interaksi yang mendunia seperti yang diungkapkan oleh Kenichi Ohmae (1995), tidak jarang agama dijadikan alat untuk bertahan, dijadikan pegangan, atau dijadikan solidaritas baru, menggantikan simbol-simbol solidaritas sosial yang lain. Gejala muncul dan berkembangnya konservatisme di Amerika Serikat sejak masa pemerintahan Ronald Reagan merupakan bukti konkret saat agama dijadikan sebagai sebuah simbol solidaritas baru. Dalam politik Amerika Serikat modern, tidak ada seorang pun yang dapat mendiskualifikasi besarnya peranan Christian Coalition dalam memobilisasi dukungan politik bagi kalangan konservatif di Amerika Serikat. Sudah menjadi gejala umum pula di Amerika Serikat, bahwa kalangan konservatif ini melakukan tindakan yang dapat dikatakan paling ekstrem, dengan membom sejumlah klinik atau Puskesmas, karena diduga klinik atau Puskesmas tersebut melakukan praktek aborsi. Apakah gejala ini akan dapat menjadikan Amerika Serikat mengalami disintegrasi? Jawabannya, tentu saja, tidak! Karena, negara mampu mengatasi dengan baik.
            Bagaimana dengan Indonesia? Ketika kita memasuki tahun 199o-an, banyak kalangan yang mengkhawatirkan munculnya poitik aliran. Apalagi kalau hal itu dikaitkan  dengan munculnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Sejak awal, saya menolak kekhawatiran tersebut. Karena, menurut saya, kekhawatiran semacam itu sama sekali tidak berdasar. Hal itu muncul karena ketidaktahuan tentang apa itu poitik aliran dan ketidakmampuan memahami politik Indonesia kontemporer. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana saja, bahwa konteks politik tahun 1990-an sama sekali berbeda dengan politik masa pasca-kemerdekaan.
           
.
D.     POLITIK ALIRAN: PENGALAMAN MASA LAMPAU
Adalah Clifford Geertz yang pertama kali memperkenalkan istilah politik aliran, ketika mengamati perpolitikan di Indonesia pada masa pasca-kemerdekaan. Geertz sebenarnya membandingkan dengan apa yang diamatinya di negeri Belanda, yang dikenal sebagai Veruzuiling/Verzuiling. Bisa dimengerti kalau hal itu kemudian kita temukan dalam politik Indonesia masa pasca-kemerdekaan, karena para elite politik kita waktu itu sangat dipengaruhi oleh pengalaman pendidikan politik yang mereka alami di negeri Belanda.
Aliran merupakan sebuah metafora dari kenyataan kehidupan sosial-politik di Indonesia, di mana partai politik pada masa pasca-kemerdekaan melakukan mobilisasi massa dengan membentuk sejumlah auxiliary organizations dalam rangka memenangkan Pemilihan Umum 1955. Partai politik merupakan sebuah sungai besar, di mana air mengalir dari sejumlah anak sungai, baik yang besar maupun kecil. Dalam kehidupan kepartaian, alliran merupakan perwujudan dari pembentukan dukungan melalui mobilisasi massa. Proses mobilisasi massa seperti itu merupakan hal yang sangat wajar, karena demokrasi politik pada waktu itu memungkinkannya.
Tidak hanya itu. Partai-partai politik juga melibatkan dari dalam dalam kehidupan sosial yang sangat luas. Ada yang membentuk lembaga pendidikan seperti yang dilakukan oleh PNI, PKI, dan lain-lain. Bahkan juga ada yang terlibat dalam kegiatan ekonomi. Partai-partai politik juga memiliki media tersendiri, terutama surat kabar dan majalah, dalam rangka membentuk opini publik guna memperoleh dukungan massa yang sebesar-besarnya dalam menghadapi Pemilihan Umum pertama dalam alam Indonesia Merdeka. Politik pada masa pasca-kemerdekaan merupakan proses pembentukan kekuatan yang semaksimal mungkin. Dan hal itu dimungkinkan karena, sekali lagi, demokrasi yang dipraktikkan sangat memungkinkan.
Basis pembentukan organisasi sosial dan politik pada masa pasca-kemerdekaan adalah orientasi dan perilaku keagamaan. Hal itu seperti yang digambarkan oleh Clifford Geertz, dari hasil penelitaannya di Mojokuto, jawa Timur, awal tahun 1950-an, yang kemudian dikenal sebagai model Santri, Abangan, dan priyayi. Peta masyrakat seperti yang digambarkan Geertz, sebenarnya, memperlihatkan pemilahan sosial yang bersifat cummulative atau consolidated, karena telah terjadi proses penguatan dalam hal pengelompokan sosial, terutama di Jawa. Orang-orang abangan memiliki orientasi politik dan ekonomi yang berbeda dengan orang-orang santri. Orang-orang abangan cenderung memilih untuk berpihak kepada partai politik yang tradisional, sekular, dan nasionalistik. Sementara, orang-orang santri cenderung memilih untuk berpihak pada partai-partai Islam.
Partai –partai politik pada massa kemerdekaan memiliki basisi massa yang di mobilisasi lewat pembentukkan organisasi pendukung yang meliputi sektor :umur, profesi atau lapangan pekerjaan. Partai komunis indonesia (PKI) memiliki sejumlah organisasi seperti: pemuda rakyat, gerwani. Dengan partai nasional indonesia (PNI)  seperti: GMNI,GSNI,petani,dan leknas. Nahdatul  ulama (NU) seperti: PMII, pemuda anshor,Lesbumi. Terakhir kita tidak dapat mebicarakan masyumi tanpa organisasi pendukung seperti: GPII,HMI,PII,gaspindo,dll.
Proses Mobilisasi tidak hanya hanya sampai di situ. Setiap partai politik memiliki media cetak tersendiri,apakah itu koran atau majalah,media cetak tersebut merupakan salah satu sarana untuk melakukan propaganda dan agitasi dalam memperluas dukungan.partai komunis indonesia seperti: harian rakyat. Partai nasional indonesia: suluh indonesia, yang kemudian di ganti suluh marhean. Partai masyumi: harian abadi. Partai nahdatul ulama: duta masyarakat sementara,partai sosialis indonesia dengan harian pedoman,yang di pimpin oleh rosihan anwar, kcuali suluh marhean di yogyakarta yang kemudian berubah menjadi berita nasional, dan setelah diakuisisi oleh kelompok gramedia-kompas menjadi harian bernas. Koran-koran tersebut ada yang di berangus pada zaman  soekarno berkuasa, kemudian muncul kembali pada permulan orde baru. Tapi ada pula yang di berangus pada masa orde baru. Ada juga yng tidak bertahan hidup karena kalah bersaing  denagan koran yang belakangan ini muncul  seperti  Duta Masyarakat-Nya Nahdatul Ulama.
Perlu pula di tambahkan, bahwa partai politik pda masa pasca-kemerdekaan juga mendirikan lembaga pendidikan . partai nasional indonesia mendirikan lembaga pendidikan. Partai nasional indonesia mendirikan sekolah di bawah naungan yayasan pendidiksn nasioanal yang tersebar  di seluruh tanah air. Nahdatul ulama dengan yayasan ma’arif, partai syarikat islam indonesia  dengan sejumlah yayasan, seperti syarikat cokroaminoto, yang terdapat di yogyakarta.
Proses pemilihan sosial(social cleavages) di indonesia mengalami konsolidasi, karena pemilihan tersebut menjadi meningkat: agama meningkat dengan partai politik, kemudian bertumpang tindih dengan proses pendidikan. Bahkan, proses sosialisasi  politik dari partai-partai politik tertata dengan jelas melalaui media massa parai itu,bersama-sama pula dengan lembaga pendidikan partai yang di bangun oleh partai itu. Dmikian,proeses internalisasi nilai dan keyakinan sebuah kelompok ataupun partai politik tertanam dengan kuat melalui proses sosialisasi seperti itu.
Apa impikasinya terhadap politik indonesia?pemilihan umunm 1955 yang di ikuti hampir empat puluh partai politik dan organisasi  peserta pemilihan umum yang setingkat dengan partai politik memperlihatkan implikasi dari pemilihan sosial sepertai itu. Tidak ada satu partai politik  pun  yang mampu memperoleh suara mayoritas. Akibatnya,pemerintahan harus di bentuk dengan dasar koalisi yang rapuh , di atas perbedaan idiologi yang tajam. Akibat idiologi yang sangat rapuh itu,pemerintah menjadi sangat rapuh pula, dan seterusnya satbilitas politik pun sangat rendah.
Implikasi pemilihan  yang lain dari pemilihan sosial seperti yang di kemuklakan di atas adalah konflik . biasanya, konflik yuang terjadi  bersifat centrifugal, bukan centripetal. Konflik ini akan seperti itu akan meluas sedemikian rupa, karena melibatkan organisasi dan keseluruhan hal yang berkaitan denagn organisasi tersebut. Konflik yang terjadi antara tokoh masyumi dengan tokoh PKI , misalnya, tidak hanya melibatkan dua tokoh dari kedua partai tersebut, tetapi juga melibatkan semua komponen yang ada dalam partai tersebut, teapi juga melibatkan semua komponen yang ada dalam partai, termasuk di dalamnya adalah organisasi massa yang mendukung partai tersebut.
Kalau sudah sampai kondisi seperti itu, persoalaan yang paling rumit adalah menyangkut bagaimana mengeloala konflik tersebut(management conflict). Biasanya para penyelenggara negara akan di hadapkan pada pilihan yang amat sulit. Yakni, pilihan untuk memelihara stabilitas politik, atau melaksanakan demokrasi dengan segala konsekuensinya. Pilihan yang di tempuh tersebut pada massa pasca-kemerdekaan adalah demokrasi. tetapi suatu kenyataan yang tidak dapat di sangkal bahwa demokarsi massa tersebut menciptakan konflik yang berkepanjangan, bahkan mencapai puncaknya dengan terjadi perang saudara atau civil war yang mebahayakan integrasi bangasa. Demokrasi yang di kembangkan dan di anut pada massa itu, sayang sekali, tidak di topang oleh sejumlah prasyarat yang lain, terutama perlunya kelas menengah dan adanya moderasi dalam bersikap dan menentukan pilihan.
1.Kajian yang belakangan di lakukan oleh hebert feith lance casteles memetakan airan di indonesia ke dalam lima aliran utama,yaitu :islam ,radikal nasionalis,democratic sosialism, javanase tradisionalism,and commuism,itu. Pembagian tersebut berdasarkn pada pola pikir elite pada waktu itu.Lebih jelasnyaperiksa Herbert Feith And Lance Casteles,eds indonesian political thinking:1945-1965(Conel University Press,Ithaca,New York,1970















BAB III


1.3             PEMBAHASAN
Pertama kami akan membahas bagaimana partai politik itu bisa ada dalam suatu negara, menurut kami partai politik ada karena adanya suatu kebutuhan dari masyarakat untuk bisa di akomodir aspirasinya kepada pemerintahan serta gagasan yang di miliki oleh para pengikutnya , supaya bisa di sampaikan atau paling tidak di perjuangakan di dalam sebuah sistem politik pemerintah itu sendiri. Dengan segala fungsi partai politik yang baik, menjadi harapan bagi masyarakat luas untuk perbaikan suatu negara ke arah yang lebh baik lagi. Melalui partai politik inilah salah satu cara atau usaha keinginan masyarakat dapat di sampaikan kepada pemerintah. Partai politik dengan mekanisme dan proses kaderisasi dalam internal partai menghasilkan orang-orang yang dapat menjadi wakil di masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya dengan segala konsekuensi yang di peroleh partai poitik. Partai politik tidak terlepas dari para tokoh di dalamnya orang-orang hebat di dalamnya, mengapa tokoh menjadi penting dalam sebuah partai politik yang merupakan salah satu unsur pendukung dari sebuah partai itu dapat perhatian dari masyarakat, selain idiologi dan perogram kerja yang ada dalam partai politik, karena bagaimanapun juga dalam politik orang yang dapat merangkul semua kalangan dan lapisan masyarakat itu adalah oarang yang hebat sekaligus baik dalam politik.
      Sekarang kita membahas tentang politik indonesia dengan masyarakat yang plural dengan negara yang berlandasan pancasila dan bineka tunggal ika. Perjalanan politik indonesia bukanlah terbilang baru, indonesia mengalami perkembangan politik yang cukup lama., denagan segala paradigma kekuasaan. Mulai dari massa orde lama. Orde baru  dan massa  reformasi. Dengan segala gejolak politik yang di hadapi indonesia dalam proses menata sebuah sistem negara setelah memperoleh kemerdekaan dari penjajah yang perlu perjuanagan dan usaha yang di korbankan oleh masyarakat indonesia pada waktu itu  yang penuh dengan penderitaan  yang cukup lama yang pada akhirnya bisa juga mendapatkan kemerdekaan. Yang di tandai dengan proklamsi.
      Setelah kemerdekaan dan ir. Soekarno dan Drs. Moh.hatta menjabat sebagai presiden dan wakil presiden pada mssa orde lama dan mulai berkuasa rezim soekarno. Pada saat itulah munculah kelompok-kelompok yang membuat partai politik yang memiliki idiologi masing- masing yang tentunya berbeda- beda,ini  dapat di sebut sebagai politik aliran pada massa orde lama. Fenomena ini muncul akibat penagalaman politik dari masa penjajahan, dan tidak puas terhadapa kepimpinan soekarno dengan bergai kebijakan yang di buat oleh presiden soekarno, salah satu adalah anti terhadap pihak asing, tapi dampak terhadap masyarakat dan negara tidak bisa dipungkiril agi. yang di anggap oleh para kelompok perlu adanya perubahan kearah yang lebih baik lagi. Politik aliran adalah sebuah bagian dari sejarah politik bangsa indonesia yang memiliki masyarakat yang heterogen dengan berbagai macam suku bangsa ras dan agama. Ini yang menjadi potensi yang di lihat oleh para kalangan untuk mendapat perhatian dengan mendirikan partai politik dengan idiologi yang di bawa dan program-program yang di tawarkan kepada masyarakat. Yang menarik  adalah bahwa dalam politik aliran ini perang idiologi sangat kuat dengan persaingan di berbagai tokohnya. Ini membuat politik indonesia mnjadi berwarna dan multi partai
Setelah kemerdekaan berhasil di rebut oleh bangsa indonesia dari tangan penjajah , di tandai dengan pernyataan kemerdekaan (proklamsi) yang di bacakan oleh ir.soekarno yang di dampingi oleh moh.hatta yang menyatakan kemerdekaan indonesia di hadapan seluruh rakyat indonesia.  Mulailah bangsa indonesia menyusun dan menata  segala komponen untuk memebentuk suatu negara yang secara resmi. Berbicara soal politik orde lama dan sistem multi partai sekaligus alirananya adalah bagian dari proses demokrasi tahap awal yang harus bangsa indonesia lalui dan juga sejarah yang harus kami uraikan.
Di gambarkan sebagai ‘’DALANG ‘’ besar soekarno mendapatkan kekuasaan dari usaha menyeimbangkan kekuatan yang berlawanan dan semakin bermusuhan antara  TNI dan PKI pada tahun 1965, PKI telah menembus semua tingkat pemerintah ,mendapatkan pengaruh besar dan juga mengurangi kekuasaan TNI . tentara terbagi dua yang pro terhadap PKI dan pro terhadap barat. Menurut soeharto ini adaalah ancaman kudeta terhadap negara. Jendral  soeharto memerintahkan untuk menumpas PKI, keberhasilan soeharto dalam menumpas PKI menjadi buah manis bagi soeharto, dengan penumpasan PKI soekarno sudah lemah secara politik ,dan akhirnya soeharto di angkat menjadi presiden.
Demokrasi orde lama 1950-1995
Sejak berakhirnya pemilihan umum 1955,presiden soekarno sudah menunjukkan gejala ketidaksenangannya kepada partai-parti politk. Hal itu terjadi karena partai politik sangat beroreantasi pada kepentingan idiologinya sendiri sangat kurang memperhatikan kepentingan nasional secara menyeluruh. Bahkan pernah pada suatu kesempatan di istana merdeka beliau melontarkan keinginan untuk membubarkan saja partai politik.disamping itu,soekarno juga melontarkan gagasan bahwa demokrasi parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa indonesia yang di jiwai oleh semangat gotong royong dan kekeluargaan. Seoekrano juga menekankan bagaimana besarnya peranan pemimpin dalam proses politik yang berjalan dalam masyarakat kita . sekarno juga mengusulkan,agar terbentuk pemerintahan yang bersifat gotong-royong, yang melibatkan semua kekuatan politik yang ada termasuk Partai Komunis Indonesia  yang selama ini tidak pernah terlibat secra resmi dalam koalisi kabinet. Untuk mewujudkan gagsan tersebut, soekarno kemudian mengajukan usulan yang dikenal sebagai’’konsepsi presien’’. Melalui konsepsi tersebut,terbentuk kemudian apa yang disebut sebagai Dewan Nasional yang melibatkan semua partai politik dan organisai sosial kemasyarakatan.
Konsepsi presiden dan terbentuknya dewan nasioanl mendapat tantangan yang sangat kuat dari sejumlah partai politik,terutama Masyumi dan PSI. Penetang konsepsi presiden menyartakan ,bahwa pemebentukan dewan nasional merupakan pelanggaran yang sangat fundamental terhadap konsitusi negara,karena lembaga tersebut tidak dikenal dalam konsitusi.pada saat yang sama,sejumlah faktor lain muncul secara hampir bersamaan.
Pertama ,hubungan antara pemerintahan pusat dengan pemerintah daerah semakin memburuk. Sejumlah perwira angkatan darat di daerah-daerah membentuk misalnya dewan banteng,dewan garuda,dan dewan gadjah di sumatra,kemudian mengambil-alih pemerintah sipil.demikian pula yang terjadi di sulawesi. Semuanya itu kemudina mencapai puncaknya dengan terjadi pemebrinakkan daerah yang di pelopori oleh PRRI dan Parmesta.
Kedua, dewan konsituante ternyata mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan guna merumuskan idiologi nasional, karena tidak tercapainya titik temu anatara dua kubu politik,yaitu kelompok yang menginginkan islam sebagi dasar negara dan kelompok lain yang menginginkan pancasila sebagai dasar negara(A.Buyung Nasution,1993).  Untuk  bisa lepas dari persoalan untuk menetukan dasar negara  maka presiden seokarno memituskan untuk mengeluarkan dekrit presiden pada 5 juli 1959 . yang salah satu keputusannya adalah membubarkan dewan konsituante dan kembali kepada undang-undang 1945.. dekrit presiden merupakan sebagi palu godam bagi demokarsui parlementer ,kemudian membawa dampak yang sangat besar dala kehidupan politik nasional. Era baru demokarsi dan pemerintan di indonesia mulai di masuki. yaitu apa yang kemudian oleh soekarno di sebut sebagai demokarsi terpimpin
Pada masa orde lama ada dua pelaksanaan demokrasi  yakni masa demokrasi liberal dan masa demokrasi terpimpin
1.     Masa demokrasi liberal, demokrasi pada massa ini di anggap gagal dalam menjamin stabilitas politik . ini di sebabkan hal-hal berikut
a.       Dominannya politik aliran maksudnya partai politik yang sangat mementingkan kelompok atau alirannya sendiri dari pada mengutamakan kepentingan bangsa
b.      Landasan sosial ekonomi rakyat masih rendah
c.       Tidak mempunyai para anggota konsituante bersidang dalam menetukan dasar negara.

2.Masa demokrasi   terpimpin
Menurut ketetapan MPRS no XII /MPRS/1965 demokrasi terpmpin adalah kerakyatan yang di pimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan deomokrasi terpimpin merupakan kebalikan dari demokarsi liberal dalam kenyataannya demokrasi yang di jalankna presiden soekarno menyimpang dari prinsip-prinsip negara demokrasi:
1.      Kaburnya sistem kepartaian dan lemahnya peranan partai politik
2.      Peranan parlemen yang lemah
3.      Jaminan hak-hak dasar warga negara masih lemah
4.      Terjadi sentralisasi hubungan  kekuasaan anatara  pusat dan daerah
5.      Terbatasnya kebebasan pers sehingga banyak media massa yang tidak diijinkan terbit.
Akhirnya dari demokrasi terpimpin memuncak dengan adanya pemberontakkan

G 30 S/PKI pada tanggal 30 september  tahun 1965. Yang dipimpin oleh jend. Soeharto

Dampak ke situasi politik

Era "Demokrasi Terpimpin" diwarnai kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani Indonesia. Kolaborasi ini tetap gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak Indonesia kala itu. Pendapatan ekspor Indonesia menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi kaum birokrat dan militer menjadi wabah sehingga situasi politik Indonesia menjadi sangat labil dan memicu banyaknya demonstrasi di seluruh Indonesia, terutama dari kalangan buruh, petani, dan mahasiswa.












PENUTUP
1.5  KESIMPULAN
Dari berbagai teori  dan pembahsan tentang pemerintah orde lama, parlemen multi partai dan fenomena politik aliran. bahwa partai politik adalah suatu kendaraan politik yang di gunakan untuk mendapatkan dukungan dan perhatian dari berbagai pihak yang mengiginkan adanya perubahan dalam pemerintahan yang membawa visi dan misi sekaligus idiologi di dalamnya, yang setiap partai tentunya memiliki idiologi yang berbeda  pula . Yang ini sangat mencerminka masyarakat indonesia yang heterogen yang akibatnya munculnya bebagai partai politik di indonesia dengan berbgai aliran yang di anutnya.

 Politik Aliran: Masih Relevan?

Partai politik di masa sekarang sudah mulai meninggalkan politik aliran, terbukti dengan munculnya banyak koalisi antar partai yang sepintas memiliki ideologi yang berbeda. Menurut Clifford Geertz, pada tahun 1950-an partai politik di Indonesia masih dapat dibedakan menjadi beberapa tipe menurut ideologinya. Seperti misalnya PKI yang banyak didukung oleh para kaum abangan, kemudian PNI yang lebih banyak mendapat dukungan dari kaum aristokrat Jawa yang, menurut Geertz, termasuk ke dalam kaum priyayi. Sementara para santri memberikan dukungannya kepada Masyumi yang pada kala itu memang mewakili kepentingannya. Partai politik di masa sekarang ini mulai susah untuk diidentifikasikan ideologi atau jati dirinya. Kebanyakan partai seakan memiliki ideologi ganda dan tidak hanya memusatkan diri pada dukungan satu kaum seperti yang terjadi pada tahun 1950-an. Koalisi yang terbentuk antara partai politik di masa sekarang ini lebih banyak berdasarkan kepada kepentingan yang dimiliki dibandingkan berdasar pada ideologi. Jadi, tokoh atau stakeholder yang termasuk dalam kasus kaburnya garis politik aliran dalam partai politik di Indonesia ini antara lain adalah partai-partai politik itu sendiri, masyarakat yang memilih serta para elite partai yang berkepentingan.
Dalam kasus mengaburnya batas politik aliran dalam sistem partai politik di Indonesia ini, masing-masing aktor dan kekuatan memiliki posisi dan kepentingannya masing-masing. Para elite partai politik jelas berkontribusi besar dalam terkikisnya politik aliran karena mereka lah yang menentukan akan dibawa kemana partai tersebut. Jika mereka tidak memegang teguh ideologi yang dianut, maka partai tersebut juga akan kehilangan jati diri, muncul ketidak-jelasan dalam mendefinisikan ideologi partai. Para elite politik ini memilih untuk sedikit melenceng dari ideologi awal partai karena mereka memiliki kepentingan. Beberapa partai harus berkoalisi dengan partai yang memiliki ideologi yang berbeda dengan mereka agar mendapatkan kekuasaan dalam memperebutkan kursi di legislatif maupun eksekutif. Masyarakat sendiri berpotensi menjadi penyebab terkikisnya politik aliran ini karena masyarakat mulai memilih pemimpin berdasarkan figur dan bukannya partai. Keterikatan masyarakat atas partai mulai memudar dan hal ini yang menjadi pemicu elit partai politik ‘terpaksa’ melakukan koalisi dengan partai lain meskipun tidak memiliki ideologi yang sama dengan mereka.
Interaksi antara aktor-aktor tersebut pun terjadi dan biasanya akan menghasilkan interaksi yang saling menguntungkan. Elit partai politik akan berinteraksi dengan elit dari partai lainnya untuk membangun suatu kerja sama yang saling menguntungkan. Sementara masyarakat, dalam kaitannya sebagai voters, akan berinteraksi dengan para elit ini dalam hal memilih partai politik mana yang akan dipilihnya.
Kesimpulannya, partai politik yang ada di masa sekarang sangat berbeda dengan di masa 1950-an. Jika pada masa 1950-an mudah bagi kita untuk menentukan ideologi suatu partai politik, maka di masa sekarang hal tersebut menjadi sulit untuk dilakukan karena interaksi yang terjadi antara elit-elit partai politik sedikit banyak memengaruhi langkah yang dilakukan oleh mereka. Kadang kala, para elit ini memiliki kepentingannya sendiri dan untuk menggapai kepentingannya tersebut mereka harus rela mengorbankan ideologi partai. Sementara masyarakat sendiri pun sekarang memilih tidak lagi berdasarkan ideologi yang dianut oleh partai melainkan lebih karena figur yang diusung oleh partai tersebut.