BAB l
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Berawal dari massa orde lama yang di pimpin oleh
soekarno, yang cenderung terkonsentrasi dalam pembangunan politik di dindonesia
di banding sektor ekonomi, ini membuat ketidakstabilan ekonomi
indonesia menjadi terganggu,akibat terganggunya ekonomi indonesia pada waktu itu
rakyat menderita, Sistem pemerintahan Orde lama kebijakan pada pemerintah, berorientasi pada
politik,semua proyek diserahkan kepada pemerintah, sentralistik,demokrasi
Terpimpin, sekularisme.
Berbicara soal politik pada massa orde lama itu
tentunya jauh berbeda dengan politik pada orde baru bahkan massa reformasi, Sejarah
sepanjang Orde Lama sampai Orde Baru partai politik mempunyai peran dan posisi
yang sangat penting sebagai kendaraan politik sekelompok elite yang berkuasa,
sebagai ekspresi ide, pikiran, pandangan terhadap suatu negara.
Dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah pada
tanggal 3 November 1945 yang menganjurkan dibentuknya Parpol, sejak saat itu
berdirilah puluhan partai
politik. Maklumat ini ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat yang meminta
diberikannya kesempatan pada rakyat yang seluas-luasnya untuk mendirikan Partai
Politik.
Salah satu
definisi partai politik yang menggambarkan adanya kemungkinan terjadinya
konflik antar partai adalah definisi yang dikemukakan oleh Sigmund Neumann
dalam karangannya Modern Political Parties, yaitu sebagai berikut : “
Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha
untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar
persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai
pandangan-pandangan yang berbeda”.
Selain itu,
dalam menjalankan perannya dalam kehidupan politik nasional, partai politik
menyelenggarakan beberapa fungsi sebagai berikut :
1. Partai sebagai sarana komunikasi politik,
2. Partai
sebagai sarana sosialisasi politik,
3.
Partai politik sebagai sarana rekruitmen politik,
4. Partai politik sebagai sarana pengatur
konflik.
Ke-empat
fungsi di atas akan coba dikaji sejauh mana partai-partai politik yang hidup di
era Demokrasi Liberal dengan sistem multipartainya yang dapat berperan sebaik
mungkin dengan menjalankan fungsi-fungsi di atas sebagai mana mestinya.
secara
lengkap partai politik dilihat dari sejarah, ciri, arti, fungsi, tipologi, dan
sistemnya. ada tiga teori yang menjelaskan asal usul berdirinya partai politik.
Teori pertama, yaitu teori kelembagaan yang mengatakan bahwa
partai politik berdiri karena adanya kebutuhan para anggota legislatif /
parlemen akan dukungan dari masyarakat, tapi karena berjalannya waktu partai
politik yang dibentuk oleh para anggota parlemen tersebut, tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan baik dan tidak mampu memperjuangkan aspirasi
masyarakat yang muncul dari bawah. Karena dianggap partai politik yang ada
tidak bisa dijadikan sebagai alat artikulasi kepentingan masyarakat, akhirnya
masyarakat bersama para tokoh karismatik mendirikan partai politik baru sebagai
alternatif alat artikulasi serta agregasi kepentinganya. Ramlan Surbakti
menjelaskan teori ini umumnya terjadi diwilayah yang mengalami penjajahan.
Demokrasi di indonesia, karena hampir semua elemen demokrasi dapat kita temukan
dalam perwujudan dalam kehidupan politik di indonesia.
Pertama,
lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi
dalam proses politik yang berjalan .perwujudan kekuasaan parlemen ini dapat di
perlihatkan daengan adanya sejumlah mosi tidak percaya kepada pihak pemerintah
yang mengakibatkan kabinet harus meletakkan jabatannya.
Kedua,
akuntabilaitas pemegang jabatan dan politisi pada umumnya sangat tinggi. Hal
ini terjadi karena berfungsinya parlemen dan juga sejumlah media massa sebagai
alat kontrol sosial. Sejumlah kasus jatuhnya kabinet dalam peroide ini
merupakan contoh konkret dari tingginya akuntabilitas tersebut.
Ketiga
kehidupan kepartain boleh dikatakan memperoleh
pekluang sebesar-besarnya untuk berkembangan
secara maksimal. Dalam priode ini,indonesia menganut sistem banyak
partai(multy party system). Ada hampir 40-an partai politik yang terbentuk
dengan tingkat ekonomi
yang sangat tinggi dalam proses rekrutmen, baik pengurus atau pemimpin
partainya maupun para pendukungnya. Campur tangan pemerintah dalam rekrutmen
internal partai boleh dikatakan tidak ada sama sekali.
Keempat, sekalipun
pemilihan umum hanya satu kali yaitu pada 1995 –tetapi pada umumnya pemilihan
umum tersebut benar-benar dilaksankan dengan prinsip demokrasi.
Kelima,
masyarakat pada umumnya dapat merasakan bahwa hak-hak dasar mereka di kurangi
sama sekali,sekalipun tidak semua warga negara dapat memnafaatkannya dengan
maksimal.
1.2
POKOK MASALAH
1.
Bagaiamana keadaan politik orde lama?
2.
Mengapa
pemerintahan orde lama terkosentrasi pada pembangunan politik?
3.
Bagaimana
pertarungan partai politik pada massa orde lama?
1.3 Tujuan Masalah
1. ingin mengetahui pengaruh partai
politik terhadap pemerintahan orde lama dan pertarungan peserta pemilu.
2. karena setelah
kemerdekaan indonesia,pemerintah soekarno sedang masa recovery setelah lepas dari penjajah, yang juga sangat menentang
pihak asing untuk ikut campur tangan dalam bebagai aspek
3. adanya fenomena partai politik orde lama dan politik alirannya.
BAB II
1.2
KERANGKA PEMIKIRAN
A.
Partai
politik
partai
politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus.
Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini
ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik -
(biasanya) dengan cara konstitusionil - untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan
mereka.
Partai politik adalah
sarana politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai
kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal
finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung
kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang
political development sebagai suprastruktur politik.
Dalam rangka memahami
partai politik sebagai salah satu komponen infrastruktur politik dalam negara, berikut beberapa pengertian mengenai
partai politik, yakni:
- Carl J. Friedrich: partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan pemerintah bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil.
- R.H. Soltou: partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyaknya terorganisir, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasan memilih, bertujuan menguasai pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum mereka.
3.
Sigmund Neumann: partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis Politik yang berusaha untuk
menguasai kekuasan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar
persaingan melawan golongan-golongan lain yang tidak sepaham.
4.
Miriam
Budiardjo: partai politik
adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai
orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
^ Budiarjo, Miriam, "Dasar-Dasar Ilmu Politik", (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hal.159.
B. Pemilu
1955
Empat partai terbesar
diantaranya adalah
1.Partai Nasional Indonesia
Logo PNI
PNI atau Partai Nasional Indonesia adalah partai
politik tertua di Indonesia. Partai ini didirikan pada 4 Juli 1927 dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia
dengan ketuanya pada saat itu adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo]
Partai Nasional
Indonesia
Propaganda PNI pada tahun 1920-an
·
1927 - Didirikan di Bandung oleh para tokoh nasional seperti Dr. Tjipto
Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo. Selain itu
para pelajar yang tergabung dalam Algemeene
Studie Club
yang diketuai oleh Ir. Soekarno turut pula bergabung dengan partai ini.
·
1929 - PNI dianggap membahayakan Belanda karena menyebarkan ajaran-ajaran pergerakan
kemerdekaan sehingga Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perintah
penangkapan pada tanggal 24 Desember 1929. Penangkapan baru dilakukan pada tanggal 29 Desember 1929 terhadap tokoh-tokoh PNI di Yogyakarta seperti Soekarno, Gatot Mangkupraja, Soepriadinata
dan Maskun
Sumadiredja
·
1930 - Pengadilan para tokoh yang ditangkap ini dilakukan
pada tanggal 18 Agustus 1930. Setelah diadili di pengadilan Belanda maka para
tokoh ini dimasukkan dalam penjara Sukamiskin, Bandung]Dalam masa pengadilan ini
Ir. Soekarno menulis pidato "Indonesia Menggugat" dan membacakannya di depan pengadilan sebagai
gugatannya.
·
1931 - Pimpinan PNI, Ir. Soekarno diganti oleh Mr. Sartono.
Mr. Sartono kemudian membubarkan PNI dan membentuk Partindo pada tanggal 25 April 1931.[
Moh. Hatta
yang tidak setuju pembentukan Partindo akhirnya membentuk PNI Baru. Ir. Soekarno bergabung dengan Partindo.
·
1973 - PNI bergabung dengan empat partai peserta pemilu
1971 lainnya membentuk Partai Demokrasi Indonesia.
·
2002 - PNI berubah nama menjadi PNI Marhaenisme dan
diketuai oleh Rachmawati Soekarnoputeri, anak dari Soekarno.
Tokoh-tokoh
dan mantan tokoh-tokoh
- Dr. Tjipto Mangunkusumo
- Mr. Sartono
- Mr Iskaq Tjokrohadisuryo
- Mr Sunaryo
- Ir. Soekarno
- Moh. Hatta
- Gatot Mangkoepradja
- Soepriadinata
- Maskun Sumadiredja
- Amir Sjarifuddin
- Wilopo
- Hardi
- Suwiryo
- Ali Sastroamidjojo
- Djuanda Kartawidjaja
- Mohammad Isnaeni
- Supeni
- Sanusi Hardjadinata
- Sarmidi Mangunsarkoro
Partai-Partai
Penerus
1.
Adam
Malik, Mengabdi republik, Gunung Agung (1982) Adam Malik dalam buku ini menjelaskan bahwa
dipilihnya tanggal 4 Juli itu bukan merupakan sebuah kebetulan akan tetapi
lebih berkaitan dengan hari kemerdekaan Amerika Serikat yang mana sejarah mencatat bahwa proklamasi
kemerdekaan Amerika berlangsung pada tanggal 4 Juli 1776 di Philadelpia dan pidato Soekarno pada Sidang Umum
PBB ke-XV tanggal 30 September 1960 dengan judul Membangun Dunia Kembali (To Build The
World a New)
2.
^ "Membangkitkan
Kembali Bangsa Dengan Jiwa Besar Bung Karno", A. Umar Said Personal Website, 3 Mei 2001
2. Majelis Syuro Muslimin Indonesia(masyumi)
Lambang Masyumi
Partai Majelis Syuro
Muslimin Indonesia
atau Masyumi adalah sebuah partai
politik yang berdiri pada
tanggal 7 November 1945 di Yogyakarta. Partai ini didirikan melalui sebuah Kongres Umat Islam pada 7-8 November 1945, dengan tujuan sebagai partai politik yang dimiliki
oleh umat Islam dan sebagai partai penyatu umat Islam dalam bidang
politik.
Masyumi pada akhirnya
dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960 dikarenakan tokoh-tokohnya dicurigai terlibat dalam
gerakan pemberontakan dari dalam Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI).
Melalui Badan
Koordinasi Amal Muslimin (BKAM) para pemimpin Islam tidak menyerah begitu saja,
pada sidangnya tanggal 7 Mei 1967 dibentuklah panitia 7 (tujuh) yang diketuai
oleh tokoh Muhammadiyah yaitu H. Faqih Usman, setelah melalui beberapa kali
pertemuan dan perjuangan yang berat, akhirnya pemerintah memberikan izin untuk
mendirikan sebuah parpol baru yang akan menampung aspirasi umat Islam,khususnya
bwekas konstityuen Masyumi, dengan syarat mantan-mantan pemimpin Masyumi tidak
boleh menduduki jabatan yang penting dalam tubuh partai Parmusi.
Parmusi disahkan
berdirinya melalui Keputusan Presiden No. 70 tanggal 20 Februari 1968, kemudian
diangkatlah sebagai ketua Umum Djarnawi Hadikusumo dan sekretaris umumnya
Drs.Lukman Harun, keduanya adalah aktivis Muhammadiyah.
INTERVENSI DAN
REKAYASA
Setelah resmi berdiri
intervensi pemerintah terhadap partai Parmusi sangat kental aromanya, sewaktu
diadakannya kongres partai yang pertama tanggal 4-7 November 1968 yang diadakan
di Malang Jatim terpilihlah Muhammad Roem sebagai ketua, Muhammad Roem pernah
menjadi Menteri Luar Negeri dan PM dari partai Masyumi, dalam
perjuangan kemerdekaan sebagai Menteri Luar Negeri dan Juru Runding
pemerintahan Republik Indonesia beliau terkenal dengan perjanjian
Roem-Royen.
Reaksi pemerintah
langsung datang, dengan tidak merestui Roem sebagai ketua Parmusi, sebagai
salah seorang tokoh teras Masyumi, naiknya Roem dikhawatirkan akan
membangkitkan Neo Masyumi, melalui sekretaris negara Alamsyah
Ratuprawiranegara mengirimkan telegram kilat kepada kongres yang sedang
berlangsung, bahwa pemerintah tidak merestui terpilihnya Muhammad Roem sebagai
ketua Parmusi. Akhirnya kongres kembali menempatkan Djarnawi Hadikusumo dan
Drs. Lukman Harun sebagai ketua dan sekretaris umum Partai Muslimin Indonesia
(PARMUSI).
Kepemimpinan Djarnawi
Hadikusumo dan Lukman Harun berlangsung tidak lama, dikarenakan pemerintah
menilai duet kepemimpinan yang berasal dari Muhammadioyah ini dinilai oleh
pemerintah tidak kooperatif dengan kepentingan penguasa, terjadilah pemaksaan
kehendak disodorkanlah John (Jailani) Naro dan Imron Kadir, masing-masing
sebagai ketua dan sekretaris PARMUSI, akibat dari pemaksaan ini Parmusi
mengalami konflik yang tajam dikalangan internal partai. Akhirnya pemerintah
melalui kepresnya No.77/1970 tanggal 20 November 1970, kembali campurtangan
dengan menunjuk tokoh Muhammadiyah yang dinilai kooperatif dengan pemerintah
yaitu HMS Mintaredja, saaat itu menjadi menteri sosial dikabinet ORBA. Setelah
pemilu tahun 1971 pemerintah mewajibkan partai untuk melakukan fusi partai
politik atau restrukturisasi, penggabungan, penyederhanaan partai-partai
politik di Indonesia. Parmusi dan partai partai Islam lainnya, yakni NU, PERTI
dan SI berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Organisasi pendiri
Masyumi pada awalnya
didirikan 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang
dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Meskipun demikian,
Jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada di
zaman Belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern,
sehingga pada minggu-minggu pertama, Jepang telah melarang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII). Selain itu Jepang juga berusaha memisahkan
golongan cendekiawan Islam di perkotaan dengan para kyai di pedesaan. Para kyai
di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang karena dapat
menggerakkan masyarakat mendukung Perang Pasifik, sebagai buruh atau tentara.
Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis di dalam Putera, Jepang mendirikan Masyumi.
Masyumi pada zaman
pendudukan Jepang belum menjadi partai namun merupakan federasi dari
empat organisasi Islam yang diijinkan pada masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan
Umat Islam Indonesia.[1] Setelah menjadi partai, Masyumi mendirikan surat
kabar harian Abadi
pada 1947.
Nahdlatul
Ulama (NU) adalah salah
satu organisasi massa Islam yang sangat berperan dalam pembentukan Masyumi.
Tokoh NU, KH Hasyim
Asy'arie, terpilih sebagai
pimpinan tertinggi Masyumi saat itu. Tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk
dalam kepengurusan Masyumi dan karenanya keterlibatan NU dalam masalah politik
menjadi sulit dihindari. Nahdlatul Ulama kemudian keluar dari Masyumi melalui
surat keputusan Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) pada tanggal 5 April 1952 akibat adanya pergesekan politik di antara kaum
intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU pada persoalan agama
saja.
Hubungan antara
Muhammadiyah dengan Masyumi pun mengalami pasang surut secara politis, dan
sempat merenggang pada saat Pemilu 1955. Muhammadiyah pun melepaskan keanggotaan istimewanya
pada Masyumi menjelang pembubaran Masyumi pada tahun 1960.
Pemilu
1955
Hasil penghitungan
suara dalam Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara yang
signifikan dalam percaturan politik pada masa itu. Masyumi menjadi partai Islam
terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah
pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatera
Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera
Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Tenggara Selatan,
dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang
diperoleh PNI, dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni
penguasaan Masyumi secara nasional tak terjadi.
Berikut hasil Pemilu
1955:
2.
Masyumi
- 7,9 juta suara (20,9%)
Dari pemilu 1955 ini,
Masyumi mendapatkan 57 kursi di parlemen.
Tokoh
Di antara tokoh-tokoh
Masyumi yang dikenal adalah:
- Hasyim Asy'arie
- Wahid Hasjim, yang juga adalah putra dari KH Hasyim Asy'arie.
- Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), menjadi wakil Masyumi dalam Konstituante
- Muhammad Natsir, Menteri Penerangan dalam beberapa kabinet pada masa revolusi, Perdana Menteri Pertama NKRI, terkenal dengan Mosi Integral Natsir yang mengubah Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia
- Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran dalam beberapa kabinet pada masa revolusi, Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Gubernur Bank Indonesia Pertama, terkenal dengan kebijakan Gunting Sjafrudin
- Mr. Mohammad Roem, Diplomat ulung yang dikenal lewat inisiatifnya dalam perundingan yang kemudian dikenal sebagai Perundingan Roem - Royen
- Muhammad Isa Anshari, Ketua Partai Masyumi di parlemen yang dikenal lantang dan tegas dalam memegang teguh prinsip perjuangan, termasuk saat polemik dasar negara berlangsung di Majelis Konstituante sebelum akhirnya dibubarkan oleh Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
- Kasman Singodimedjo, Daidan PETA daerah Jakarta, yang menjamin keamanan untuk diselenggarakannya Proklamasi Kemerdekaan NKRI dan rapat umum IKADA.
- Dr. Anwar Harjono, merupakan juru bicara terakhir Partai Masyumi yang dibekukan oleh pemerintah Orde Lama, sehingga lahirlah Keluarga Besar Bulan Bintang yang pada masa orde baru mendirikan Organisasi Dakwah yakni Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan pada masa Reformasi menjadi inspirator bagi lahirnya kekuatan politik baru penerus perjuangan Masyumi yakni Partai Bulan Bintang (PBB).
Partai
Penerus
Catatan
kaki
3.Nahdlatul 'Ulama
Nahdlatul
'Ulama
|
|
Bendera
Nahdlatul 'Ulama
|
|
Pembentukan
|
31 Januari 1926
|
Jenis
|
Organisasi
|
Tujuan
|
Keagamaan dan
sosial (Islam)
|
Kantor pusat
|
|
Wilayah layanan
|
|
Keanggotaan
|
30 juta
|
Rais Aam Syuriah
|
Kosong
|
Ketua Umum
Tanfidziyah
|
|
Situs web
|
Nahdlatul 'Ulama (Kebangkitan 'Ulama atau Kebangkitan
Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Sejarah
Masjid Jombang, tempat kelahiran
organisasi Nahdlatul Ulama
Keterbelakangan baik
secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi,
telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa
ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke
mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan
ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai
organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren
yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan
membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul
Wathan (Kebangkitan Tanah
Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri"
(kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan
keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan
basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar
itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga
menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di
beberapa kota.
K.H. Hasyim Asyhari, Rais
Akbar (ketua) pertama NU.
Berangkan komite dan
berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa
perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis,
untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai
kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk
organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344
H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan
prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad
Ahlussunnah Wal Jamaah.
Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU
dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Paham
keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan
tngah antara ekstrem aqli
(rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU
tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah
dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir
terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU
berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid
Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali
kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali
ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik
dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan
negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan
dinamika sosial dalam NU.
Daftar
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Berikut ini adalah
daftar Rais Am Syuriah (Ketua Umum Dewan Syuro) dan Ketua Umum Tanfidziyah
(Pelaksana) Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama:
No
|
Rais Aam Syuriyah
|
Ketua Umum
Tanfidziyah
|
Awal
|
Akhir
|
||
Foto
|
Nama
|
Foto
|
Nama
|
|||
1
|
||||||
2
|
||||||
3
|
||||||
4
|
||||||
5
|
||||||
6
|
||||||
7
|
K.H. Ali Yafie (pjs)
|
|||||
8
|
||||||
9
|
||||||
10
|
Basis
pendukung
Dalam menentukan
basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas,
yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang
sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka
sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu.
Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya serius di tubuh NU di tingkat
apapun untuk mengelola keanggotaannya.
Apabila dilihat dari
segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara melihatnya. Dari segi politik,
bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau
diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari
PPP. Sedangkan dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang
yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk
hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dari Muslim santri
Indonesia. Suaidi Asyari[1] memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri
Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Jumlah
keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan
mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu
mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.
Berdasarkan lokasi
dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan Sumatra. Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU
mempunyai profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah
rakyat jelata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifitas
yang tinggi, karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, serta
selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Pada
umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan
pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU
ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan
industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota
memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor
petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan.
Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU
juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi
selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister
dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun
luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan magister ini
belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap
lapisan kepengurusan NU.
Organisasi
Tujuan
Menegakkan ajaran
Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Usaha
- Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
- Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
- Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
- Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
- Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
Struktur
- Pengurus Besar (tingkat Pusat).
- Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi), terdapat 33 Wilayah.
- Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri, terdapat 439 Cabang dan 15 Cabang Istimewa.
- Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan), terdapat 5.450 Majelis Wakil Cabang.
- Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan), terdapat 47.125 Ranting.
Untuk Pusat, Wilayah,
Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
- Mustasyar (Penasihat)
- Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
- Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting, setiap
kepengurusan terdiri dari:
- Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
- Tanfidziyah (Pelaksana harian)
Lembaga
Merupakan pelaksana
kebijakan NU yang berkaitan dengan suatu bidang tertentu. Lembaga ini meliputi:
- Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) [1]
- Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU)
- Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama ( LPKNU )
- Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU)
- Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU)
- Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI)* (Indonesia) Lembaga Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama- Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulama
- Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU)
- Lembaga Takmir Masjid (LTM)
- Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU
- Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI)
- Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH)
- Lajnah Bahtsul Masail (LBM-NU)
Lajnah
Merupakan pelaksana
program Nahdlatul Ulama (NU) yang memerlukan penanganan khusus. Lajnah ini
meliputi:
- Lajnah Falakiyah (LF-NU)
- Lajnah Ta'lif wan Nasyr (LTN-NU)
- Lajnah Auqaf (LA-NU)
- Lajnah Zakat, Infaq, dan Shadaqah (Lazis NU)
Badan
Otonom
Merupakan pelaksana
kebijakan NU yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu. Badan Otonom
ini meliputi:
- Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah
- Muslimat Nahdlatul Ulama
- Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor)
- Fatayat Nahdlatul Ulama
- Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
- Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
- Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
- Ikatan Pencak Silat Pagar Nusa (IPS Pagar Nusa)
- Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz (JQH)
NU
dan politik
Pertama kali NU
terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi
pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91
kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah
satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.
NU kemudian
menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada
muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926'
yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.
Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang
terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman
Wahid. Pada pemilu 1999
PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.
Partai
penerus
Pranala
luar
- (Indonesia) Situs Resmi Nahdlatul Ulama
- (Indonesia) Abdurrahman Wahid
4.Partai Komunis Indonesia
Partai
Komunis Indonesia
|
|
Ketua
|
DN Aidit
(1950-1965) |
Sekretaris jenderal
|
Soedisman
|
Didirikan
|
|
Kantor
pusat
|
|
Partai
Komunis Indonesia (PKI)
adalah partai politik di Indonesia yang
berideologi komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan
pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada 1926, mendalangi pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948, serta mendalangi peristiwa G30S/PKI dan terlibat kasus
pembunuhan 6 jenderal TNI AD di Jakarta pada tanggal 30 September 1965.
Sejarah
Sebelum Revolusi Indonesia(Gerakan Awal PKI)
Partai
ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet
pada 1914, dengan
nama Indische
Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda).
Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai
sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai
Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda
Pada
Oktober 101 SM ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "Het
Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars.
Pada
saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu,
ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga
orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan
cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan
Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan
yang menjauhkan diri dari ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV
memisahkan diri dan membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial
Hindia.
Pada
1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara
Merdeka".
Di
bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober
seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di
antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda.
Dibentuklah "Pengawal Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka
telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu
memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat
itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas
dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke
Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer
Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun.
ISDV
terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah.
Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat. Setelah sejumlah kader Belanda
dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam,
keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda
menjadi mayoritas orang Indonesia.
Pembentukan Partai Komunis
Pada
awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan
yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang dan Yogyakarta
membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya
mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang
beraliran komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang
disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi
Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen
diangkat sebagai ketua partai.
PKH
adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet
mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920.
Pada
1924 nama
partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Pemberontakan 1926
Pada
November 1926 PKI
memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatera Barat.
PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik.
Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan
orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya
kader-kader partai, dikirim ke Boven Digul,
sebuah kamp tahanan di Papua [2].
Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis
yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas
pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh
pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.
Rencana
pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam
perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka,
salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra.
Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di
cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia.
Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.
Pada
masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama
karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Moeso kembali dari
pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawh
tanah. Namun Moeso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI bergerak dalam
berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di
Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan
organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berada di
dalam kontrol PKI .
Peristiwa Madiun 1948
Pada
8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 pihak Republik Indonesia dan
pendudukan Belanda
melakukan perundingan yang dikenal sebagai Perundingan Renville. Hasil kesepakatan perundingan
Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya,RI menjadi pihak
yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang dimiliki.Oleh karena itu, kabinet Amir Syarifuddin diaggap merugikan bangsa, kabinet
tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia terpaksa menyerahkan mandatnya
kepada presiden dan digantikan kabinet Hatta.
Selanjutnya
Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat
(FDR) pada 28 Juni 1948. Kelompok politik ini berusaha
menempatkan diri sebagai oposisi terhadap pemerintahan dibawah kabinet Hatta.
FDR bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan suatu
perebutan kekuasaan.
Beberapa
aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya dengan melancarkan propaganda
antipemerintah, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik dan
membunuh lawan-lawan politik, serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat.
Sejalan
dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang
sejak lama berada di Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan Amir Syarifuddin untuk
menentang pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk pimpinan PKI.
Setelah itu, ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror, mengadu domba
kesatuan-kesatuan TNI dan
menjelek-jelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah
pemberotakan terhadap RI pada 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur.
Tujuan pemberontakan itu adalah meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan
negara komunis. Dalam aksi ini beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai,
alim ulama dan rakyat yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan
kekejaman ini membuat rakyat marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan
pasukan TNI memang sedang menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI mampu
bertindak cepat. Panglima Besar Soedirman
memerintahkan Kolonel Gatot Subroto
di Jawa Tengah dan
Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan
operasi penumpasan pemberontakan PKI. Pada 30 September
1948, Madiun dapat diduduki kembali oleh TNI dan polisi. Dalam operasi ini Muso berhasil
ditembak mati sedangkan Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan
dijatuhi hukuman mati.
Bangkit kembali
Pada
1950, PKI
memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat
dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI
mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan
mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh
Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin
muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman,
menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara
mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan
sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165 000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada 1959 ]
Pada
Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh
tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di Medan dan Jakarta.
Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara
waktu.
Pemilu 1955
Pada
Pemilu 1955,
PKI menempati tempat ke empat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini
memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di
Konstituante.
Pada
Juli 1957, kantor
PKI di Jakarta
diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam
pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada September 1957, Masjumi secara
terbuka menuntut supaya PKI dilarang [5].
Pada
3 Desember
1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah pengaruh PKI,
mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis
nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan
melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri
sebagai sebuah partai nasional.
Pada
Februari 1958 terjadi
sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang mulai condong ke timur di
kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga menuntut agar pemerintah
pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil bumi
yang tidak merata antara pusat dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis
di Sumatera dan Sulawesi,
mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner
ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah
kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan
ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya
berhasil dipadamkan.
Pada
1959, militer
berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian, kongres
ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri memberi
angin pada komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang
merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme.
Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan.
PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya
sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas.
Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun
1965
Dengan
berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965, PKI menjadi partai komunis terkuat
di luar Uni Soviet dan RRC. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa,
seperti SOBSI (Sentral
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan
Tani Indonesia (BTI),
Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan seluruh anggota partai dan
organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima
dari seluruh rakyat Indonesia.
Pada
Maret 1962, PKI
bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat
menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan kongres
partainya. Pada 1963,
pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina
terlibat dalam pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang
pembentukan sebuah Konfederasi
Maphilindo, sebuah
gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para
anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam
pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia.
Sebagian kelompok berhasil mencapai Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di
sana. Namun demikian kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba.
Salah satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam militer partai seperti Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya. Hal inilah yang membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI dengan "tentaranya".
Salah satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam militer partai seperti Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya. Hal inilah yang membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI dengan "tentaranya".
Gerakan 30 September
Alasan utama tercetusnya peristiwa G30S disebabkan sebagai suatu upaya pada melawan apa yang disebut "rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup d‘etat terhadap Presiden Sukarno“.
Aktivitas
PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S,
makin agresif. Meski pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi serangan
yang sangat kasar misalnya terhadap apa yang disebut "kapitalis birokrat“[terutama
yang bercokol di perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria
yang tidak menepati waktunya sehingga melahirkan "Aksi Sepihak“ dan
istilah "7 setan desa“[], serta serangan-serangan terhadap
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya bertitik berat kepada
"kepemimpinan“-nya dan mengabaikan "demokrasi“-nya[adalah
pertanda meningkatnya rasa superioritas PKI[sesuai dengan
statementnya yang menganggap bahwa secara politik, PKI merasa telah
berdominasi. Anggapan bahwa partai ini berdominasi,pada akhirnya tidak lebih
dari satu ilusi.
Ada
pun Gerakan 30 September 1965, secara politik dikendalikan
oleh sebuah Dewan Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit
dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam), bermarkas di rumah sersan (U)
Suyatno di
komplek perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim. Sedang operasi militer
dipimpin oleh kolonel A. Latief sebagai komandan SENKO (Sentral
Komando) yang bermarkas di Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan operasi
dikendalikan dari gedung PENAS (Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan
dari Tugu MONAS (Monumen Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah Letkol. Untung Samsuri.
Menurut
keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI mengambil alih
semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang dianggap sah,
hanyalah yang bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah nampak bahwa gerakan
akan mengalami kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan
sesuai dengan rencana, maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan
ialah bagaimana mencari jalan menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan
bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dan tak bisa
ditemui oleh teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai gerakan
selanjutnya.
Antara
kebenaran dan manipulasi sejarah. Dalam konflik penafsiran dan kontroversi
narasi atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan PKI, klaim kebenaran
bagaikan pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya, sehingga
membingungkan masyarakat, terutama generasi baru yang masanya jauh sesudah
peristiwa terjadi. Tetapi perbedaan versi kebenaran terjadi sejak awal segera
setelah terjadinya peristiwa.
Di
tingkat internasional, Kantor Berita RRC (Republik Rakyat Cina), Xinhua,
memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal
Angkatan Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen
Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI.
Presiden
Soekarno pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam
peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang
keblinger dan terpancing oleh insinuasi Barat, lalu melakukan tindakan-tindakan,
dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan
sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya,
dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama AD
pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera
diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang
pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada
tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan
telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap kekejaman, melebihi peristiwa
sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian pembunuhan para jenderal
menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang
hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan melampaui batas
yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga
tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.
Setelah
berakhirnya masa kekuasaan formal Soeharto,
muncul kesempatan untuk menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai
Peristiwa 30 September 1965 dan PKI yang dianggap kontroversial atau mengandung
ketidakbenaran. Kesempatan itu memang kemudian digunakan dengan baik, bukan
saja oleh para sejarawan dalam batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh
mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI.
Bila sebelum ini penulisan versi penguasa sebelum reformasi banyak dikecam
karena di sana sini mengandung unsur manipulasi sejarah, ternyata pada sisi
sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan manipulatif yang sama
yang bertujuan untuk memberi posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai
korban politik semata. Pendulum sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke
kiri, setelah pada masa sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan.
Terdapat
sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan cermat
dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa
politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30
September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu
peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik
dan dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha
merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan
sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan kekuasaan, kasat mata, ada
dokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku politik dalam rangka pertarungan
kekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah soal lain yang memang perlu lebih
diperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke waktu, untuk lebih mendekati
kebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran tak boleh dihentikan. Bahwa
dalam proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan konflik politik maupun
konflik sosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu Nasakom 1959-1965,
terjadi malapetaka berupa pembunuhan massal dalam perspektif pembalasan dengan
anggota-anggota PKI terutama sebagai korban, pun merupakan fakta sejarah. Ekses
telah dibalas dengan ekses, gejala diperangi dengan gejala.
1.
^ 'The First Period of the Indonesian
Communist Party (PKI): 1914-1926 - An outline.', Marxist.com, diakses 28 April 2008
C.POLITIK
INDONESIA 1990-AN:
REJUVENASI
ALIRAN?
Agama harus dilihat dari dua dimensi. Pertama,agama sebagai sebuah keyakinan
yang dianut oleh sekelompok orang, baik secara individual maupun kelompok. Kedua,
agama sebagai sebuah fenomena sosial. Seringkali orang tidak dapat
membedakan kedua fenomena tersebut, bahkan tidak jarang membedakan mencampuradukkan
satu sama lain. Agama sebagai sebuah keyakinan, akidah, kemudian diredusir
sebagai sebuah gejala sosial. Kalau itu yang terjadi, maka akan timbul masalah,
terutama masalah interpretasidar kalangan yang berasal dari luar lingkungan
sebuah agama.
Dalam sebuah situasi, di mana arus
globalisasi sudah sedemikian kuatnya, batas negara sudah semakin kabur, dan
negara bukan lagi sebagai aktor utama dalam interaksi yang mendunia seperti
yang diungkapkan oleh Kenichi Ohmae (1995), tidak jarang agama dijadikan alat
untuk bertahan, dijadikan pegangan, atau dijadikan solidaritas baru,
menggantikan simbol-simbol solidaritas sosial yang lain. Gejala muncul dan
berkembangnya konservatisme di Amerika Serikat sejak masa pemerintahan Ronald
Reagan merupakan bukti konkret saat agama dijadikan sebagai sebuah simbol
solidaritas baru. Dalam politik Amerika Serikat modern, tidak ada seorang pun
yang dapat mendiskualifikasi besarnya peranan Christian Coalition dalam memobilisasi dukungan politik bagi
kalangan konservatif di Amerika Serikat. Sudah menjadi gejala umum pula di
Amerika Serikat, bahwa kalangan konservatif ini melakukan tindakan yang dapat
dikatakan paling ekstrem, dengan membom sejumlah klinik atau Puskesmas, karena
diduga klinik atau Puskesmas tersebut melakukan praktek aborsi. Apakah gejala
ini akan dapat menjadikan Amerika Serikat mengalami disintegrasi? Jawabannya,
tentu saja, tidak! Karena, negara mampu
mengatasi dengan baik.
Bagaimana dengan Indonesia? Ketika
kita memasuki tahun 199o-an, banyak kalangan yang mengkhawatirkan munculnya poitik aliran. Apalagi kalau hal itu
dikaitkan dengan munculnya Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Sejak awal, saya menolak kekhawatiran
tersebut. Karena, menurut saya, kekhawatiran semacam itu sama sekali tidak
berdasar. Hal itu muncul karena ketidaktahuan tentang apa itu poitik aliran dan
ketidakmampuan memahami politik Indonesia kontemporer. Mengapa demikian?
Jawabannya sederhana saja, bahwa konteks politik tahun 1990-an sama sekali
berbeda dengan politik masa pasca-kemerdekaan.
.
D.
POLITIK ALIRAN:
PENGALAMAN MASA LAMPAU
Adalah Clifford Geertz yang pertama kali
memperkenalkan istilah politik aliran,
ketika mengamati perpolitikan di Indonesia pada masa pasca-kemerdekaan. Geertz
sebenarnya membandingkan dengan apa yang diamatinya di negeri Belanda, yang
dikenal sebagai Veruzuiling/Verzuiling.
Bisa dimengerti kalau hal itu kemudian kita temukan dalam politik Indonesia
masa pasca-kemerdekaan, karena para elite politik kita waktu itu sangat
dipengaruhi oleh pengalaman pendidikan politik yang mereka alami di negeri
Belanda.
Aliran merupakan
sebuah metafora dari kenyataan kehidupan sosial-politik di Indonesia, di mana
partai politik pada masa pasca-kemerdekaan melakukan mobilisasi massa dengan
membentuk sejumlah auxiliary
organizations dalam rangka memenangkan Pemilihan Umum 1955. Partai politik
merupakan sebuah sungai besar, di mana air mengalir dari sejumlah anak sungai,
baik yang besar maupun kecil. Dalam kehidupan kepartaian, alliran merupakan
perwujudan dari pembentukan dukungan melalui mobilisasi massa. Proses
mobilisasi massa seperti itu merupakan hal yang sangat wajar, karena demokrasi
politik pada waktu itu memungkinkannya.
Tidak hanya itu. Partai-partai politik juga
melibatkan dari dalam dalam kehidupan sosial yang sangat luas. Ada yang
membentuk lembaga pendidikan seperti yang dilakukan oleh PNI, PKI, dan
lain-lain. Bahkan juga ada yang terlibat dalam kegiatan ekonomi. Partai-partai
politik juga memiliki media tersendiri, terutama surat kabar dan majalah, dalam
rangka membentuk opini publik guna memperoleh dukungan massa yang
sebesar-besarnya dalam menghadapi Pemilihan Umum pertama dalam alam Indonesia
Merdeka. Politik pada masa pasca-kemerdekaan merupakan proses pembentukan
kekuatan yang semaksimal mungkin. Dan hal itu dimungkinkan karena, sekali lagi,
demokrasi yang dipraktikkan sangat memungkinkan.
Basis pembentukan organisasi sosial dan politik pada
masa pasca-kemerdekaan adalah orientasi dan perilaku keagamaan. Hal itu seperti
yang digambarkan oleh Clifford Geertz, dari hasil penelitaannya di Mojokuto,
jawa Timur, awal tahun 1950-an, yang kemudian dikenal sebagai model Santri, Abangan, dan priyayi. Peta
masyrakat seperti yang digambarkan Geertz, sebenarnya, memperlihatkan pemilahan
sosial yang bersifat cummulative atau consolidated, karena telah terjadi
proses penguatan dalam hal pengelompokan sosial, terutama di Jawa. Orang-orang
abangan memiliki orientasi politik dan ekonomi yang berbeda dengan orang-orang
santri. Orang-orang abangan cenderung memilih untuk berpihak kepada partai
politik yang tradisional, sekular, dan nasionalistik. Sementara, orang-orang
santri cenderung memilih untuk berpihak pada partai-partai Islam.
Partai –partai politik pada massa kemerdekaan memiliki
basisi massa yang di mobilisasi lewat pembentukkan organisasi pendukung yang
meliputi sektor :umur, profesi atau lapangan pekerjaan. Partai komunis
indonesia (PKI) memiliki sejumlah organisasi seperti: pemuda rakyat, gerwani.
Dengan partai nasional indonesia (PNI)
seperti: GMNI,GSNI,petani,dan leknas. Nahdatul ulama (NU) seperti: PMII, pemuda
anshor,Lesbumi. Terakhir kita tidak dapat mebicarakan masyumi tanpa organisasi
pendukung seperti: GPII,HMI,PII,gaspindo,dll.
Proses Mobilisasi tidak hanya hanya sampai di situ.
Setiap partai politik memiliki media cetak tersendiri,apakah itu koran atau
majalah,media cetak tersebut merupakan salah satu sarana untuk melakukan
propaganda dan agitasi dalam memperluas dukungan.partai komunis indonesia
seperti: harian rakyat. Partai nasional indonesia: suluh indonesia, yang
kemudian di ganti suluh marhean. Partai masyumi: harian abadi. Partai nahdatul
ulama: duta masyarakat sementara,partai sosialis indonesia dengan harian
pedoman,yang di pimpin oleh rosihan anwar, kcuali suluh marhean di yogyakarta
yang kemudian berubah menjadi berita nasional, dan setelah diakuisisi oleh
kelompok gramedia-kompas menjadi harian bernas. Koran-koran tersebut ada yang
di berangus pada zaman soekarno berkuasa,
kemudian muncul kembali pada permulan orde baru. Tapi ada pula yang di berangus
pada masa orde baru. Ada juga yng tidak bertahan hidup karena kalah
bersaing denagan koran yang belakangan
ini muncul seperti Duta Masyarakat-Nya Nahdatul Ulama.
Perlu pula di tambahkan, bahwa partai politik pda masa
pasca-kemerdekaan juga mendirikan lembaga pendidikan . partai nasional
indonesia mendirikan lembaga pendidikan. Partai nasional indonesia mendirikan
sekolah di bawah naungan yayasan pendidiksn nasioanal yang tersebar di seluruh tanah air. Nahdatul ulama dengan
yayasan ma’arif, partai syarikat islam indonesia dengan sejumlah yayasan, seperti syarikat
cokroaminoto, yang terdapat di yogyakarta.
Proses pemilihan sosial(social cleavages) di indonesia
mengalami konsolidasi, karena pemilihan tersebut menjadi meningkat: agama
meningkat dengan partai politik, kemudian bertumpang tindih dengan proses pendidikan.
Bahkan, proses sosialisasi politik dari
partai-partai politik tertata dengan jelas melalaui media massa parai
itu,bersama-sama pula dengan lembaga pendidikan partai yang di bangun oleh
partai itu. Dmikian,proeses internalisasi nilai dan keyakinan sebuah kelompok
ataupun partai politik tertanam dengan kuat melalui proses sosialisasi seperti
itu.
Apa impikasinya terhadap politik indonesia?pemilihan
umunm 1955 yang di ikuti hampir empat puluh partai politik dan organisasi peserta pemilihan umum yang setingkat dengan
partai politik memperlihatkan implikasi dari pemilihan sosial sepertai itu.
Tidak ada satu partai politik pun yang mampu memperoleh suara mayoritas.
Akibatnya,pemerintahan harus di bentuk dengan dasar koalisi yang rapuh , di
atas perbedaan idiologi yang tajam. Akibat idiologi yang sangat rapuh
itu,pemerintah menjadi sangat rapuh pula, dan seterusnya satbilitas politik pun
sangat rendah.
Implikasi pemilihan
yang lain dari pemilihan sosial seperti yang di kemuklakan di atas
adalah konflik . biasanya, konflik yuang terjadi bersifat centrifugal,
bukan centripetal. Konflik ini akan
seperti itu akan meluas sedemikian rupa, karena melibatkan organisasi dan
keseluruhan hal yang berkaitan denagn organisasi tersebut. Konflik yang terjadi
antara tokoh masyumi dengan tokoh PKI , misalnya, tidak hanya melibatkan dua tokoh
dari kedua partai tersebut, tetapi juga melibatkan semua komponen yang ada
dalam partai tersebut, teapi juga melibatkan semua komponen yang ada dalam partai,
termasuk di dalamnya adalah organisasi massa yang mendukung partai tersebut.
Kalau sudah sampai kondisi seperti itu, persoalaan yang
paling rumit adalah menyangkut bagaimana mengeloala konflik tersebut(management conflict). Biasanya para
penyelenggara negara akan di hadapkan pada pilihan yang amat sulit. Yakni,
pilihan untuk memelihara stabilitas politik, atau melaksanakan demokrasi dengan
segala konsekuensinya. Pilihan yang di tempuh tersebut pada massa
pasca-kemerdekaan adalah demokrasi. tetapi suatu kenyataan yang tidak dapat di
sangkal bahwa demokarsi massa tersebut menciptakan konflik yang berkepanjangan,
bahkan mencapai puncaknya dengan terjadi perang saudara atau civil war yang mebahayakan integrasi
bangasa. Demokrasi yang di kembangkan dan di anut pada massa itu, sayang
sekali, tidak di topang oleh sejumlah prasyarat yang lain, terutama perlunya
kelas menengah dan adanya moderasi dalam bersikap dan menentukan pilihan.
1.Kajian yang belakangan di lakukan oleh hebert feith lance casteles memetakan
airan di indonesia ke dalam lima aliran utama,yaitu :islam ,radikal
nasionalis,democratic sosialism, javanase tradisionalism,and commuism,itu.
Pembagian tersebut berdasarkn pada pola pikir elite pada waktu itu.Lebih
jelasnyaperiksa Herbert Feith And Lance Casteles,eds indonesian political
thinking:1945-1965(Conel University Press,Ithaca,New York,1970
BAB III
1.3
PEMBAHASAN
Pertama kami akan
membahas bagaimana partai politik itu bisa ada dalam suatu negara, menurut kami
partai politik ada karena adanya suatu kebutuhan dari masyarakat untuk bisa di
akomodir aspirasinya kepada pemerintahan serta gagasan yang di miliki oleh para
pengikutnya , supaya bisa di sampaikan atau paling tidak di perjuangakan di
dalam sebuah sistem politik pemerintah itu sendiri. Dengan segala fungsi partai
politik yang baik, menjadi harapan bagi masyarakat luas untuk perbaikan suatu
negara ke arah yang lebh baik lagi. Melalui partai politik inilah salah satu
cara atau usaha keinginan masyarakat dapat di sampaikan kepada pemerintah.
Partai politik dengan mekanisme dan proses kaderisasi dalam internal partai
menghasilkan orang-orang yang dapat menjadi wakil di masyarakat dalam
menyuarakan aspirasinya dengan segala konsekuensi yang di peroleh partai
poitik. Partai politik tidak terlepas dari para tokoh di dalamnya orang-orang
hebat di dalamnya, mengapa tokoh menjadi penting dalam sebuah partai politik
yang merupakan salah satu unsur pendukung dari sebuah partai itu dapat
perhatian dari masyarakat, selain idiologi dan perogram kerja yang ada dalam partai
politik, karena bagaimanapun juga dalam politik orang yang dapat merangkul
semua kalangan dan lapisan masyarakat itu adalah oarang yang hebat sekaligus
baik dalam politik.
Sekarang kita membahas tentang politik
indonesia dengan masyarakat yang plural dengan negara yang berlandasan pancasila
dan bineka tunggal ika. Perjalanan politik indonesia bukanlah terbilang baru,
indonesia mengalami perkembangan politik yang cukup lama., denagan segala
paradigma kekuasaan. Mulai dari massa orde lama. Orde baru dan massa
reformasi. Dengan segala gejolak politik yang di hadapi indonesia dalam
proses menata sebuah sistem negara setelah memperoleh kemerdekaan dari penjajah
yang perlu perjuanagan dan usaha yang di korbankan oleh masyarakat indonesia
pada waktu itu yang penuh dengan
penderitaan yang cukup lama yang pada
akhirnya bisa juga mendapatkan kemerdekaan. Yang di tandai dengan proklamsi.
Setelah kemerdekaan dan ir. Soekarno dan Drs.
Moh.hatta menjabat sebagai presiden dan wakil presiden pada mssa orde lama dan
mulai berkuasa rezim soekarno. Pada saat itulah munculah kelompok-kelompok yang
membuat partai politik yang memiliki idiologi masing- masing yang tentunya
berbeda- beda,ini dapat di sebut sebagai
politik aliran pada massa orde lama.
Fenomena ini muncul akibat penagalaman politik dari masa penjajahan, dan tidak
puas terhadapa kepimpinan soekarno dengan bergai kebijakan yang di buat oleh
presiden soekarno, salah satu adalah anti terhadap pihak asing, tapi dampak
terhadap masyarakat dan negara tidak bisa dipungkiril agi. yang di anggap oleh
para kelompok perlu adanya perubahan kearah yang lebih baik lagi. Politik
aliran adalah sebuah bagian dari sejarah politik bangsa indonesia yang memiliki
masyarakat yang heterogen dengan berbagai macam suku bangsa ras dan agama. Ini
yang menjadi potensi yang di lihat oleh para kalangan untuk mendapat perhatian
dengan mendirikan partai politik dengan idiologi yang di bawa dan
program-program yang di tawarkan kepada masyarakat. Yang menarik adalah bahwa dalam politik aliran ini perang
idiologi sangat kuat dengan persaingan di berbagai tokohnya. Ini membuat
politik indonesia mnjadi berwarna dan multi partai
Setelah kemerdekaan
berhasil di rebut oleh bangsa indonesia dari tangan penjajah , di tandai dengan
pernyataan kemerdekaan (proklamsi) yang di bacakan oleh ir.soekarno yang di
dampingi oleh moh.hatta yang menyatakan kemerdekaan indonesia di hadapan
seluruh rakyat indonesia. Mulailah
bangsa indonesia menyusun dan menata
segala komponen untuk memebentuk suatu negara yang secara resmi.
Berbicara soal politik orde lama dan sistem multi partai sekaligus alirananya
adalah bagian dari proses demokrasi tahap awal yang harus bangsa indonesia lalui
dan juga sejarah yang harus kami uraikan.
Di gambarkan
sebagai ‘’DALANG ‘’ besar soekarno
mendapatkan kekuasaan dari usaha menyeimbangkan kekuatan yang berlawanan dan
semakin bermusuhan antara TNI dan PKI
pada tahun 1965, PKI telah menembus semua tingkat pemerintah ,mendapatkan
pengaruh besar dan juga mengurangi kekuasaan TNI . tentara terbagi dua yang pro
terhadap PKI dan pro terhadap barat. Menurut soeharto ini adaalah ancaman
kudeta terhadap negara. Jendral soeharto
memerintahkan untuk menumpas PKI, keberhasilan soeharto dalam menumpas PKI
menjadi buah manis bagi soeharto, dengan penumpasan PKI soekarno sudah lemah secara
politik ,dan akhirnya soeharto di angkat menjadi presiden.
Demokrasi orde lama
1950-1995
Sejak berakhirnya
pemilihan umum 1955,presiden soekarno sudah menunjukkan gejala
ketidaksenangannya kepada partai-parti politk. Hal itu terjadi karena partai
politik sangat beroreantasi pada kepentingan idiologinya sendiri sangat kurang
memperhatikan kepentingan nasional secara menyeluruh. Bahkan pernah pada suatu
kesempatan di istana merdeka beliau melontarkan keinginan untuk membubarkan
saja partai politik.disamping itu,soekarno juga melontarkan gagasan bahwa
demokrasi parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa indonesia yang di
jiwai oleh semangat gotong royong dan kekeluargaan. Seoekrano juga menekankan
bagaimana besarnya peranan pemimpin dalam proses politik yang berjalan dalam
masyarakat kita . sekarno juga mengusulkan,agar terbentuk pemerintahan yang
bersifat gotong-royong, yang melibatkan semua kekuatan politik yang ada
termasuk Partai Komunis Indonesia yang
selama ini tidak pernah terlibat secra resmi dalam koalisi kabinet. Untuk
mewujudkan gagsan tersebut, soekarno kemudian mengajukan usulan yang dikenal
sebagai’’konsepsi presien’’. Melalui konsepsi tersebut,terbentuk kemudian apa
yang disebut sebagai Dewan Nasional yang melibatkan semua partai politik dan
organisai sosial kemasyarakatan.
Konsepsi presiden
dan terbentuknya dewan nasioanl mendapat tantangan yang sangat kuat dari
sejumlah partai politik,terutama Masyumi dan PSI. Penetang konsepsi presiden
menyartakan ,bahwa pemebentukan dewan nasional merupakan pelanggaran yang
sangat fundamental terhadap konsitusi negara,karena lembaga tersebut tidak
dikenal dalam konsitusi.pada saat yang sama,sejumlah faktor lain muncul secara
hampir bersamaan.
Pertama
,hubungan antara pemerintahan pusat dengan pemerintah daerah semakin memburuk.
Sejumlah perwira angkatan darat di daerah-daerah membentuk misalnya dewan
banteng,dewan garuda,dan dewan gadjah di sumatra,kemudian mengambil-alih
pemerintah sipil.demikian pula yang terjadi di sulawesi. Semuanya itu kemudina
mencapai puncaknya dengan terjadi pemebrinakkan daerah yang di pelopori oleh
PRRI dan Parmesta.
Kedua,
dewan konsituante ternyata mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan
guna merumuskan idiologi nasional, karena tidak tercapainya titik temu anatara
dua kubu politik,yaitu kelompok yang menginginkan islam sebagi dasar negara dan
kelompok lain yang menginginkan pancasila sebagai dasar negara(A.Buyung
Nasution,1993). Untuk bisa lepas dari persoalan untuk menetukan
dasar negara maka presiden seokarno
memituskan untuk mengeluarkan dekrit presiden pada 5 juli 1959 . yang salah
satu keputusannya adalah membubarkan dewan konsituante dan kembali kepada
undang-undang 1945.. dekrit presiden merupakan sebagi palu godam bagi
demokarsui parlementer ,kemudian membawa dampak yang sangat besar dala
kehidupan politik nasional. Era baru demokarsi dan pemerintan di indonesia
mulai di masuki. yaitu apa yang kemudian oleh soekarno di sebut sebagai demokarsi terpimpin
Pada masa orde lama
ada dua pelaksanaan demokrasi yakni masa
demokrasi liberal dan masa demokrasi terpimpin
1.
Masa demokrasi liberal, demokrasi pada massa ini di anggap gagal dalam menjamin stabilitas
politik . ini di sebabkan hal-hal berikut
a.
Dominannya politik
aliran maksudnya partai politik yang sangat mementingkan kelompok atau
alirannya sendiri dari pada mengutamakan kepentingan bangsa
b.
Landasan sosial
ekonomi rakyat masih rendah
c.
Tidak mempunyai
para anggota konsituante bersidang dalam menetukan dasar negara.
2.Masa
demokrasi terpimpin
Menurut ketetapan MPRS no XII /MPRS/1965 demokrasi
terpmpin adalah
kerakyatan yang di pimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan deomokrasi terpimpin merupakan kebalikan dari demokarsi liberal
dalam kenyataannya demokrasi yang di jalankna presiden
soekarno menyimpang dari prinsip-prinsip negara demokrasi:
1.
Kaburnya sistem
kepartaian dan lemahnya peranan partai politik
2.
Peranan parlemen
yang lemah
3.
Jaminan hak-hak
dasar warga negara masih lemah
4.
Terjadi
sentralisasi hubungan kekuasaan anatara pusat dan daerah
5.
Terbatasnya
kebebasan pers sehingga banyak media massa yang tidak diijinkan terbit.
Akhirnya
dari demokrasi terpimpin memuncak dengan adanya pemberontakkan
G 30 S/PKI pada tanggal 30 september tahun 1965. Yang dipimpin oleh jend. Soeharto
Dampak ke situasi politik
Era
"Demokrasi Terpimpin" diwarnai kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan
kaum borjuis nasional dalam menekan
pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani Indonesia. Kolaborasi ini tetap gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak Indonesia kala
itu. Pendapatan ekspor
Indonesia menurun, cadangan devisa menurun,
inflasi terus menaik dan korupsi kaum birokrat dan militer menjadi wabah sehingga
situasi politik Indonesia menjadi sangat labil dan memicu banyaknya demonstrasi di seluruh Indonesia, terutama dari
kalangan buruh, petani, dan mahasiswa.
PENUTUP
1.5 KESIMPULAN
Dari berbagai teori dan pembahsan tentang pemerintah orde lama,
parlemen multi partai dan fenomena politik aliran. bahwa partai politik adalah
suatu kendaraan politik yang di gunakan untuk mendapatkan dukungan dan
perhatian dari berbagai pihak yang mengiginkan adanya perubahan dalam
pemerintahan yang membawa visi dan misi sekaligus idiologi di dalamnya, yang
setiap partai tentunya memiliki idiologi yang berbeda pula . Yang ini sangat mencerminka masyarakat
indonesia yang heterogen yang akibatnya munculnya bebagai partai politik di
indonesia dengan berbgai aliran yang di anutnya.
Politik Aliran: Masih Relevan?
Partai politik di masa sekarang sudah mulai
meninggalkan politik aliran, terbukti dengan munculnya banyak koalisi antar
partai yang sepintas memiliki ideologi yang berbeda. Menurut Clifford Geertz,
pada tahun 1950-an partai politik di Indonesia masih dapat dibedakan menjadi
beberapa tipe menurut ideologinya. Seperti misalnya PKI yang banyak didukung
oleh para kaum abangan, kemudian PNI yang lebih banyak mendapat dukungan
dari kaum aristokrat Jawa yang, menurut Geertz, termasuk ke dalam kaum priyayi.
Sementara para santri memberikan dukungannya kepada Masyumi yang pada
kala itu memang mewakili kepentingannya. Partai politik di masa sekarang ini
mulai susah untuk diidentifikasikan ideologi atau jati dirinya. Kebanyakan
partai seakan memiliki ideologi ganda dan tidak hanya memusatkan diri pada
dukungan satu kaum seperti yang terjadi pada tahun 1950-an. Koalisi yang
terbentuk antara partai politik di masa sekarang ini lebih banyak berdasarkan
kepada kepentingan yang dimiliki dibandingkan berdasar pada ideologi. Jadi,
tokoh atau stakeholder yang termasuk dalam kasus kaburnya garis politik
aliran dalam partai politik di Indonesia ini antara lain adalah partai-partai
politik itu sendiri, masyarakat yang memilih serta para elite partai yang
berkepentingan.
Dalam kasus mengaburnya batas politik aliran dalam
sistem partai politik di Indonesia ini, masing-masing aktor dan kekuatan
memiliki posisi dan kepentingannya masing-masing. Para elite partai politik
jelas berkontribusi besar dalam terkikisnya politik aliran karena mereka lah
yang menentukan akan dibawa kemana partai tersebut. Jika mereka tidak memegang
teguh ideologi yang dianut, maka partai tersebut juga akan kehilangan jati
diri, muncul ketidak-jelasan dalam mendefinisikan ideologi partai. Para elite
politik ini memilih untuk sedikit melenceng dari ideologi awal partai karena
mereka memiliki kepentingan. Beberapa partai harus berkoalisi dengan partai
yang memiliki ideologi yang berbeda dengan mereka agar mendapatkan kekuasaan
dalam memperebutkan kursi di legislatif maupun eksekutif. Masyarakat sendiri
berpotensi menjadi penyebab terkikisnya politik aliran ini karena masyarakat
mulai memilih pemimpin berdasarkan figur dan bukannya partai. Keterikatan
masyarakat atas partai mulai memudar dan hal ini yang menjadi pemicu elit
partai politik ‘terpaksa’ melakukan koalisi dengan partai lain meskipun tidak
memiliki ideologi yang sama dengan mereka.
Interaksi antara aktor-aktor tersebut pun terjadi
dan biasanya akan menghasilkan interaksi yang saling menguntungkan. Elit partai
politik akan berinteraksi dengan elit dari partai lainnya untuk membangun suatu
kerja sama yang saling menguntungkan. Sementara masyarakat, dalam kaitannya
sebagai voters, akan berinteraksi dengan para elit ini dalam hal memilih
partai politik mana yang akan dipilihnya.
Kesimpulannya, partai politik yang ada di masa
sekarang sangat berbeda dengan di masa 1950-an. Jika pada masa 1950-an mudah
bagi kita untuk menentukan ideologi suatu partai politik, maka di masa sekarang
hal tersebut menjadi sulit untuk dilakukan karena interaksi yang terjadi antara
elit-elit partai politik sedikit banyak memengaruhi langkah yang dilakukan oleh
mereka. Kadang kala, para elit ini memiliki kepentingannya sendiri dan untuk
menggapai kepentingannya tersebut mereka harus rela mengorbankan ideologi
partai. Sementara masyarakat sendiri pun sekarang memilih tidak lagi
berdasarkan ideologi yang dianut oleh partai melainkan lebih karena figur yang
diusung oleh partai tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar